Terlepas lagi-lagi ada beberapa hal janggal yang lebih dilatarbelakangi faktor belum terbiasa, namun saya akui ada banyak hal menarik dari kuda besi keluaran TVS ini. Misal saja dengan shift timing light, sempat luput dari pengamatan saya di awal menunggani Apache tersebut. Padahal benda itu berada di kanan atas speedometer, dan membantu sekali terutama dalam melakukan perpindahan gigi atas dapat dilakukan dengan presisi tepat.
Selebihnya, dari sisi mesin pun membantu kedua paha tak sampai berkeringat ekstra lantaran panas. Terbukti sepanjang Jakarta-Karawang-Purwakarta saya masih bisa enjoy di atas jok, tanpa merasa kepanasan sepanjang jalan.
Maka itu, ia pun mengandalkan pendingin berupa oli berkapasitas 197,75 cc, hingga memungkinkan mendapatkan kekuatan hingga 21 PS pada 9.000 RPM. Selain juga torsi maksimal, di-setting maksimal 17,5 NM pada 7.000 RPM.
Keunikan lainnya, saya membayangkan kantong pun akan lebih hemat dengan kendaraan ini. Maklum, sepanjang rute yang kami tempuh, hanya dibutuhkan sekali mengisi bensin, dan tak perlu lagi mengisinya hingga kembali ke Jakarta.
Ternyata hal itu memang tak lepas dari keberadaan sistem bernama BOSCH (DFI), yang membantu memastikan suplai bahan bakar dengan respon katup, hingga konsumsi bahan bakar pun lebih efisien.
Ya, penjelasan demi penjelasan itu memang tak lepas dari penuturan awak pabrik yang setia menemani kami sepanjang kami berada di pabrik. Walaupun, dalam menyimak penjelasan itu saja, saya sendiri sempat melamun terutama saat melihat para pekerja di dalamnya sebagian besar sama sekali tidak duduk--dan memang tak ada tempat duduk walaupun untuk bersantai sejenak. Bahkan, saat jeda sejenak di sela menguji berbagai tipe motor lainnya di lokasi, kami terpaksa melantai.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H