Berada di pabrik TVS yang berlokasi di Karawang, 23 Agustus lalu, menjadi pengalaman tersendiri. Tentu saja, kesempatan ini bisa saya dapatkan berkat undangan Kompasiana yang bekerja sama dengan TVS Indonesia, di acara bertajuk TVS Joy Ride hingga 24 Agustus.
Ya, kesempatan berada di pabrik tersebut, membantu saya yang selama ini tak lebih sebagai konsumen, menjadi lebih memahami apa yang menjadi plus minus dengan pabrikan yang identik dengan India tersebut.
Maklum, mau tak mau harus diakui, seperti jamaknya masyarakat Indonesia, selama ini saya pribadi cenderung lebih akrab dengan sepeda motor keluaran Jepang. Sedangkan kini, justru berhadapan dengan sebuah pabrik yang menjembatani kehadiran motor Negeri Hindustan itu ke Indonesia.
Sejujurnya, ada kegembiraan tersendiri saat berada di lokasi pabrik tersebut. Walaupun, sebagai seorang perokok, saya sempat digelisahkan dengan sulitnya mencari tempat mengubah mulut saya sendiri menjadi knalpot.
Setidaknya, kegelisahan itu terjawab dengan kegembiraan saat saya dengan 10 rekan Kompasianer, berada di dalam area pabrik. Juga berkesempatan melihat langsung berbagai proses perakitan, tak terkecuali pengecatan hingga pengujian kekuatan mesin dan ban.
Ya, ada banyak istilah dunia motor di balik setiap tempat yang ada di dalam pabrik itu. Tak mudah untuk kepala saya merekam semua, tapi dapat dipastikan tak dapat melupakan setiap sudut pabrik yang berada di kawasan industri di Jawa Barat tersebut.
Ketertarikan saya tertumpu pada bagaimana perusahaan asal India tersebut sangat terobsesi pada hal-hal yang berbau inovatif. Salah satunya, tentu saja saat melihat dan "mencicipi" sendiri seperti apa cita rasa berkendara menggunakan TVS Apache RTR200 4V, yang juga dipinjamkan ke saya dari Jakarta hingga tiba di pabrik ini.
Tapi sejatinya, dari sisi kualitas hingga bentuk, sepeda motor produksi TVS ini tak terlalu jauh dibandingkan sepeda motor yang dilahirkan perusahaan-perusahaan Jepang. Hanya, mungkin karena terbiasa dengan "aroma Sakura" maka itu, saya pribadi sempat merasa asing dengan keindahan "Taj Mahal".
Sebut saja kendaraan yang sempat saya tunggangi selama dua hari itu, dalam hal desain bisa dipastikan tak kalah dengan keluaran Jepang. Dalam desain, misalnya, Apache RTR 200 ini sendiri menggunakan konsep TVS X21 Draken.
Tak berhenti di situ, aroma digital yang mewakili kekinian pun tak lepas dari motor tersebut. Indikator kecepatan pun berbentuk digital dengan layar LCD, hingga indikator kecepatan puncak. Untuk satu ini, sebelum berangkat ke pabrik pun, pihak TVS sempat beberapa lama menjelaskan kepada dan rekan-rekan Kompasianer.
Terlepas lagi-lagi ada beberapa hal janggal yang lebih dilatarbelakangi faktor belum terbiasa, namun saya akui ada banyak hal menarik dari kuda besi keluaran TVS ini. Misal saja dengan shift timing light, sempat luput dari pengamatan saya di awal menunggani Apache tersebut. Padahal benda itu berada di kanan atas speedometer, dan membantu sekali terutama dalam melakukan perpindahan gigi atas dapat dilakukan dengan presisi tepat.
Selebihnya, dari sisi mesin pun membantu kedua paha tak sampai berkeringat ekstra lantaran panas. Terbukti sepanjang Jakarta-Karawang-Purwakarta saya masih bisa enjoy di atas jok, tanpa merasa kepanasan sepanjang jalan.
Maka itu, ia pun mengandalkan pendingin berupa oli berkapasitas 197,75 cc, hingga memungkinkan mendapatkan kekuatan hingga 21 PS pada 9.000 RPM. Selain juga torsi maksimal, di-setting maksimal 17,5 NM pada 7.000 RPM.
Keunikan lainnya, saya membayangkan kantong pun akan lebih hemat dengan kendaraan ini. Maklum, sepanjang rute yang kami tempuh, hanya dibutuhkan sekali mengisi bensin, dan tak perlu lagi mengisinya hingga kembali ke Jakarta.
Ternyata hal itu memang tak lepas dari keberadaan sistem bernama BOSCH (DFI), yang membantu memastikan suplai bahan bakar dengan respon katup, hingga konsumsi bahan bakar pun lebih efisien.
Ya, penjelasan demi penjelasan itu memang tak lepas dari penuturan awak pabrik yang setia menemani kami sepanjang kami berada di pabrik. Walaupun, dalam menyimak penjelasan itu saja, saya sendiri sempat melamun terutama saat melihat para pekerja di dalamnya sebagian besar sama sekali tidak duduk--dan memang tak ada tempat duduk walaupun untuk bersantai sejenak. Bahkan, saat jeda sejenak di sela menguji berbagai tipe motor lainnya di lokasi, kami terpaksa melantai.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H