Lagi-lagi, kalimat yang dinilai sebagai satire itu masih juga jadi sasaran cemoohan hingga makian. Bahkan ada yang menyejajarkan saya dengan Moshadeq, tokoh yang konon mengaku sebagai nabi. Agak tercekat juga mendengar tudingan hingga seperti itu, sementara yang saya ajak hanya berpikir ulang atas apa yang kadung dilihat sebagai ciri beriman dan ciri heroisme seorang muslim.
Lewat ajakan itu, memang kerap juga saya coba untuk menyisipkan perspektif, bahwa agama bukan untuk Tuhan dan agama ada untuk manusia. Tuhan tak memiliki kepentingan atas keberadaan agama, kecuali membawa kebaikan untuk manusia.
Ada gugatan saya munculkan, apakah dengan pembakaran rumah ibadah pemeluk agama berbeda, lalu Tuhan senang? Bukankah jika mengira Tuhan senang karena adanya pemeluk agama yang bersedih karena rumah ibadahnya dibakar, justru sebagai pelecehan kepada Tuhan sendiri?
Sayangnya, dari apa yang saya dapati berdasarkan pengalaman dari dunia per-Facebook-an dan penulisan di situs-situs tertentu, mereka kerap kali melebihkan emosi di atas nalar. Alhasil, yang terjadi adalah sikap sarat emosi, mudah terpancing kemarahan, dan jadi getol menghakimi.
Mungkin saya sendiri bisa dikatakan sebagai korban seperti apa orang-orang marah, cuma karena menggugat apa yang mereka yakini sebagai ciri orang beriman secara salah kaprah: bahwa tak penting mempertimbangkan kemanusiaan karena Allah di atas segalanya, tak perlu merisaukan sedih tidaknya orang yang beragama berbeda selama yang kita perjuangkan adalah agama sendiri.
Saya menangkap fenomena itu sebagai egoisme dalam beragama. Dan, sebagai pribadi pun, saya pernah terperangkap dalam kondisi itu, terlebih saat hanya bergaul dengan kalangan yang sarat atribut agama, namun mereka kerap menyisipkan kebencian pada agama yang berbeda. Saat itu, pikiran saya pun kerap meyakini bahwa membunuh pun sah-sah saja jika itu alasannya adalah Tuhan. Sebuah pikiran yang lagi-lagi terkesan sangat agamis dan kental ciri pembela Tuhan.
Namun pikiran yang menjurus ke radikal itu sepenuhnya saya tinggalkan setelah melihat ulang dan memetakan efek dari kekeliruan memahami Tuhan, agama, dan manusia. Sebaliknya, meski lebih sering hanya lewat status Facebook, saya berusaha mengajak melihat ulang berbagai keyakinan dan sudut pandang yang selama ini berkembang.
Sebab, bersandar pada pengalaman pribadi juga, pemahaman keliru dalam melihat korelasi Tuhan, agama, dan manusia, justru akan berdampak keliru. Yang muncul hanya kecurigaan tak mendasar, dan hawa permusuhan yang mengental, hingga memunculkan lamunan-lamunan bahwa memerangi mereka yang berbeda agama maka akan diganjar surga lengkap dengan sekian bidadari.
Agama pun didangkalkan oleh pemeluknya sendiri, lewat penafsiran-penafsiran yang terkesan suci, namun lebih banyak berdampak pada kerusakan alih-alih memperbaiki. Maka itu, saat kasus-kasus sensitif seperti di Tanjung Balai terjadi, pendangkalan atas pesan agama pun dilakukan oleh pemeluk agama yang juga saya anut sendiri.
Betapa, mereka pelaku anarki itu telah menjadi robot-robot yang hanya berisikan rekaman pesan dari orang-orang yang merasa sebagai wakil Tuhan, untuk membalas sesuatu dengan sesuatu yang lebih parah. Protes atas pengeras suara, didikte sebagai protes pada azan, dan itu ditafsirtunggalkan sebagai pelecehan kepada Islam. Walhasil, yang terjadi, robot-robot tadi muncul dari segala arah, dan api berkobar mewakili kemarahan mereka.