Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Saya dan Sahabat Syiah di Aceh

19 Juli 2016   07:32 Diperbarui: 8 Juli 2017   13:59 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Aceh, saya pernah mendapati seorang kenalan yang pernah belajar di Iran, dan dia berterus terang bahwa dirinya adalah Syiah. Apa yang terjadi? Apakah lantas dia diremehkan atau dimaki?

Tidak. Kami justru bisa leluasa berbagi pikiran tanpa beban, dan tak ada yang ketakutan sendiri bahwa nanti akan sesat. Tidak ada kecemasan bahwa dia akan menggiring kami untuk meyakini apa yang dia yakini.

Saya menikmati pikiran-pikirannya yang kental ciri khas mahasiswa filsafat. Dia bisa melempar pertanyaan yang tak banyak orang berani lontarkan. Dia bisa menggugat sesuatu yang oleh kebanyakan orang terasa tak perlu digugat.

Tapi karakter teman Syiah ini menegaskan, banyak perubahan yang mengangkat peradaban yang berguna itu tidak lahir lewat orang kebanyakan, tapi justru lewat orang yang tak latah untuk mengikuti pola pikir yang dianut oleh orang kebanyakan.

Logis. Karena sesuatu yang melekat pada kebanyakan itu cenderung merupakan sesuatu yang terlalu standar. Ini ibarat jalanan yang terlalu lurus dan datar, yang tak hanya membosankan tapi juga rentan mencelakakan.

Atau, katakanlah ibarat laron yang gemar menjadi yang "kebanyakan", karena tertarik pada panasnya lampu, lantas susul menyusul hanya ke satu tempat, cuma untuk menjemput kematian dengan cara yang bodoh. Mati cuma karena ketertarikan kuat pada sesuatu yang panas cuma karena tergoda oleh cahaya.

Teman yang Syiah ini berteman dengan lingkungan yang sebagian besar adalah Sunni. Tak ada dari kami yang saling mencurigai, kecuali hanya sama-sama belajar dan berdiskusi. Bukan untuk memaksa diri untuk melahirkan jawaban, melainkan berusaha menciptakan jauh lebih banyak pertanyaan.

Ya, nyaris semua dari kami bersepakat, hal-hal yang lebih baik tidak selalu datang karena keberhasilan memaksa diri menemukan jawaban, melainkan justru karena mampu memunculkan jauh lebih banyak pertanyaan.

Teman Syiah ini tetap bisa menjalani kesehariannya tanpa terusik oleh siapa-siapa. Walaupun dia mengakui, dia takkan serta-merta membuka diri di depan orang kebanyakan, karena di tengah orang kebanyakan itu juga sulit memastikan mana saja yang waras dengan yang tidak. Sebab, menyamakan orang tak waras dengan orang waras bisa berarti sama dengan menggali kuburan untuk diri sendiri.

Apalagi, memang, di belahan bumi lain baru saja ada perempuan yang berprofesi sebagai model namun ia juga seorang feminis yang memperjuangkan hak perempuan di tengah negaranya yang di atas kertas islami namun kerap mendiskriminasi perempuan. Dia mati terbunuh.

Kematian aktivis itu terjadi justru lewat tangan saudara kandungnya sendiri. Cuma karena dia membela agar perempuan tidak lagi dilihat sebelah mata atau sebagai masyarakat kelas dua, jadi motif saudara kandungnya itu membunuhnya.

Jadi, saat berbicara keyakinan, amannya memang harus di tempat yang dipastikan berisikan orang-orang waras. Dan, teman Syiah ini memilih tempat di mana orang-orang waras berada, karena takkan ada yang membahayakannya, dan tetap bisa mengutarakan isi pikirannya dan gugatan-gugatannya.

Dia sangat menyadari, pilihannya memilih lingkungan pergaulan waras, takkan mengusik dirinya untuk tetap bersama dengan identitasnya yang apa adanya. Tak perlu mengubah yang berbeda untuk sama dengannya, karena ia hanya memerlukan kesetaraan dalam duduk dan berdirinya, dan antara diam dan kerewelannya. Tanpa ada yang dipaksa bungkam, tanpa ada yang didesak untuk tidak berpikir dengan cara dia sendiri.

Menyimak pilihan hidupnya bukan satu hal yang mengherankan bagi saya. Sebab, dia memilih identitasnya dengan kesadarannya dan lewat proses pembelajaran yang dipilihnya sendiri. Dia tetap merdeka sepenuhnya.

Tidak mengherankan. Yang saya herankan justru orang kebanyakan, beragama seperti kebanyakan, menjalani hidup seperti orang kebanyakan, dan menjadi penakut di tengah jumlah yang justru terlalu banyak. Takut didangkalkan akidahnya, takut disesatkan, takut digelincirkan dari jalan ke surga.

Mereka yang penakut ini yang jauh lebih getol untuk menularkan ketakutan itu. Alhasil, jangankan tubuh mereka, pikiran pun enggan beranjak lebih jauh dan berada di depan, lantaran merasa bisa memanjakan diri di belakang--hingga benar-benar tertinggal.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun