Jadi, saat berbicara keyakinan, amannya memang harus di tempat yang dipastikan berisikan orang-orang waras. Dan, teman Syiah ini memilih tempat di mana orang-orang waras berada, karena takkan ada yang membahayakannya, dan tetap bisa mengutarakan isi pikirannya dan gugatan-gugatannya.
Dia sangat menyadari, pilihannya memilih lingkungan pergaulan waras, takkan mengusik dirinya untuk tetap bersama dengan identitasnya yang apa adanya. Tak perlu mengubah yang berbeda untuk sama dengannya, karena ia hanya memerlukan kesetaraan dalam duduk dan berdirinya, dan antara diam dan kerewelannya. Tanpa ada yang dipaksa bungkam, tanpa ada yang didesak untuk tidak berpikir dengan cara dia sendiri.
Menyimak pilihan hidupnya bukan satu hal yang mengherankan bagi saya. Sebab, dia memilih identitasnya dengan kesadarannya dan lewat proses pembelajaran yang dipilihnya sendiri. Dia tetap merdeka sepenuhnya.
Tidak mengherankan. Yang saya herankan justru orang kebanyakan, beragama seperti kebanyakan, menjalani hidup seperti orang kebanyakan, dan menjadi penakut di tengah jumlah yang justru terlalu banyak. Takut didangkalkan akidahnya, takut disesatkan, takut digelincirkan dari jalan ke surga.
Mereka yang penakut ini yang jauh lebih getol untuk menularkan ketakutan itu. Alhasil, jangankan tubuh mereka, pikiran pun enggan beranjak lebih jauh dan berada di depan, lantaran merasa bisa memanjakan diri di belakang--hingga benar-benar tertinggal.*