Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Ironi Junaidi, Jalani Usia Senja di Pos Siskamling

17 April 2016   17:41 Diperbarui: 18 April 2016   08:47 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ia masih menghabiskan usia senja di bengkel (Gbr: Tribunnews)"][/caption]Namanya Junaidi, seorang pria berusia 70 tahun. Sehari-hari berkutat sebagai tukang reparasi peralatan elektronik, dari kipas hingga televisi dan terpaksa bertempat tinggal di salah satu Pos Siskamling RW 02, Kelurahan Gelora, Jakarta Pusat. Sekaligus, tempat tersebut menjadi kios untuk ia bekerja sehari-hari.

Di usia senjanya, ia nyaris tak dapat berharap dari apa pun kecuali hanya dari hasil upah dari bilik yang memang milik RW tersebut yang menjadi tempat ia membuka usahanya. 

Bilik tersebut bisa ditempatinya karena masyarakat setempat iba atas kondisinya, tanpa anak, dan istrinya pergi entah ke mana sejak ia bangkrut sekitar 25 tahun lalu.

Dulunya ia termasuk berada di RW tersebut. Memiliki rumah sendiri, di samping beberapa petak tanah warisan dari orang tuanya, sempat membuatnya yakin semua itu akan mampu menghidupinya hingga usia senja.

Keyakinan di masa muda, saat tubuhnya masih kuat, dan usahanya masih terbilang lancar, nyatanya membuat dirinya terkecoh. Ada banyak keadaan yang di luar perkiraannya terjadi. Peninggalan orangtua hilang nyaris tak berbekas, dan ia terlunta-lunta di kampungnya sendiri.

"Apalagi yang harus saya harap di usia seperti sekarang," ia meluapkan isi hatinya yang menyiratkan penyesalan. "Dulu, memang saya tak terpikir untuk berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Sebab saat itu terpikir, saya di kampung sendiri, kalaupun merasakan kesulitan takkan sampai habis-habisan. Nyatanya tidak begitu. Sekarang hanya bisa berharap pada kedua tangan saya sendiri dan pekerjaan yang diberikan orang-orang."

Sekarang, tak setiap hari ia mendapatkan orang yang membutuhkan jasanya. "Seminggu sekali saja belum pasti," kata dia, dengan ekspresi nyaris kosong.

Dalam satu orderan, acap kali ia tak mematok harga tinggi, kecuali sekitar Rp 20-30 ribu. Pendapatan sebesar itulah yang menjadi andalannya, bukan untuk sehari, tapi memang tak jarang harus dicukup-cukupi untuk sepekan. 

Untuk makan, ia mengandalkan Warung Tegal yang tak jauh dari Pos RW yang menjadi tempat tinggalnya. Terkadang ia bayar alakadar, dan tak jarang digratiskan oleh pemilik warung. Atau, terkadang karena pemberian dari penduduk setempat, maka ia bisa mengisi perutnya.

Ia mengakui, dulu ia merasa lalai karena merasa sudah memiliki segalanya. Tidak mewah, tapi ia meyakini semua itu akan bisa diandalkan kapan saja, termasuk sebagai modal, jika mengalami pailit dalam usahanya. 

Sayangnya, pailit dialaminya bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Sampai kemudian ia benar-benar jatuh, dan tak ada lagi modal yang bisa diandalkannya. Semua warisan pun melayang untuk menebus utang di bank, berikut istrinya pun hilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun