Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sisi Humanis dalam Batman vs Superman

27 Maret 2016   21:05 Diperbarui: 27 Maret 2016   21:16 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sesama orang baik bukan tak mungkin akan saling dibenturkan, dan itulah misi terbesar kejahatan - Gbr: Ontimenetwork.com"][/caption]Kekuatan luar biasa bukan segalanya, dan tidak menjanjikan akan mampu menaklukkan apa saja. Inilah yang juga berkelebat di pikiran saya saat duduk di salah satu bioskop yang berlokasi di Pacific Place, Jakarta, Minggu (27/3). Meski Batman vs Superman: Dawn of Justice, sejatinya adalah film laga, namun terasa lebih dari sekadar film laga.

Ada pergulatan pikiran, emosi, hingga intrik, dikemas dalam dialog demi dialog, adegan demi adegan. Tak dapat ditampik, sekali lagi bahwa ini adalah film laga. Tak heran jika porsi satu laga ke laga lainnya, terasa jauh lebih besar dari sekadar pergulatan pikiran atau ide dalam bentuk drama tertentu atau dialog antarpemeran.

Dua hal paling menarik perhatian saya pribadi, di luar dari passion ke laga itu sendiri, adalah sisi emosi dan pergulatan pemikiran yang melatari masing-masing aksi.

Bruce Wayne berangkat dari latar seorang bocah yang harus menyaksikan kematian orangtuanya di depan mata, terutama ibunya. Sedangkan Clark Kent, yang sedikit lebih beruntung karena masih memiliki ibu, juga mengalami ancaman dari Lex Luthor
yang menyandera sang ibu hanya supaya Kent sebagai Superman mengikuti kemauannya; bertarung dengan "Ksatria Kegelapan" alias Batman.

Dua orang baik, memiliki jiwa dan pikiran sangat baik, di sini dibenturkan. Serangkaian skenario dilakukan Luthor, untuk dapat membenturkan kedua elemen baik tersebut. Tampaknya, di sisi ini, ada muatan sindiran atas kondisi kekinian di lintas dunia; bahwa seperti itulah dunia ini terus berputar, dan perang tak selalu berkutat hanya orang baik versus orang jahat. Di sini, sesama mereka yang berlatar belakang baik pun masih bisa dibenturkan.

Itu terjadi ketika seorang penjahat diberikan tempat, tanpa ada yang mampu mengendusnya dengan cepat, hingga mereka pun leluasa membuat kebenaran pun berada di titik sekarat. Terbukti, Batman yang diperankan Ben Affleck merasakan keputusan untuk menghancurkan Superman adalah pilihan paling tepat. Seperti halnya Superman, pun hanya bisa berujar pendek, namun  sangat logis, "Tak selamanya seseorang itu bisa terus baik."

Mereka bertarung, berusaha saling membunuh, namun memilih berhenti ketika meluncur satu kalimat yang lebih kurang menyebutkan sosok ibu; Martha. Ibu kedua superhero itu sama-sama memiliki nama depan "Martha", Martha Kent yang diperankan oleh Diane Lane, dan Martha Wayne yang diperankan Lauren Cohan.

Ketika menyinggung ibu, tak ada lagi pembeda antara ibu angkat (dimiliki Superman) dengan ibu kandung (Batman). Keduanya luruh oleh sosok yang disebut ibu. Di sinilah, meski hanya terbilang sekelebat dibandingkan keseluruhan cerita, nilai paling humanis dari lakon rivalitas dua manusia super, kental sekali terasa.

Ibu, dalam cerita film yang dirilis kali pertama pada 25 Maret 2016 ini, terlihat sebagai simbol kesejukan, kedamaian, kekuatan yang sesungguhnya yang menjadi antitesis dari pameran kekuatan yang menguasai sebagian besar jalan cerita.

Tersirat pesan, sisi feminin dari kehidupan yang disimbolkan lewat sosok ibu (Martha Wayne dan Martha Kent), tak selalu identik dengan kelemahan. Melainkan, di sisi inilah justru terdapat kekuatan yang sesungguhnya yang dialirkan untuk melawan kekuatan hitam kejahatan.


Batman dengan kekuatan super dan peralatan canggih diperlihatkan bisa khilaf dalam mengambil keputusan, seperti halnya Superman yang memiliki kekuatan super pun bisa tak berdaya, tapi mereka bisa disatukan oleh kekuatan feminin dari sosok ibu.

Memang, ada banyak tanda tanya termasuk bagaimana menafsir pesan dari film di bawah arahan Zack Snyder ini. Dari keberadaan Wonder Woman--diperankan oleh Gal Gadot--yang muncul tiba-tiba, dan nyaris tak ada aksi signifikan kecuali saat bertarung menghadapi monster yang dihidupkan Lex Luthor.

Tapi sekali lagi, mereka pun mewakili elemen femininitas dalam kentalnya maskulinitas dalam film yang konon menghabiskan 250 juta AS dollar atau sekitar Rp 3,3 triliun tersebut. Walaupun sisi ini, elemen feminitas, cenderung lebih dikesankan oleh Lois Lane yang diperankan Amy Adams.

Dia berinisiatif mencari dasar dari perselisihan kedua manusia super, dan ia juga mampu menanggapi dengan cepat dan menemukan, apa senjata paling tepat dalam menghancurkan monster raksasa yang menjadi bahaya terbesar yang ingin ditebar Luthor.

Di luar itu, kalaupun ada hal yang kurang menarik bagi saya dari keseluruhan film ini yakni modus Luthor menculik ibu Superman, sebagai senjata untuk memaksanya menuruti kemauan tokoh antagonis tersebut. Modus begini, terasa sudah terlalu bertaburan di banyak film, sehingga terasa kurang menggigit. Meski begitu, nilai yang ditebar dari film ini sangat futuristik, ya inipun hanya bagi Anda yang melihat film tak sekadar hiburan semata.* Twitter:@zoelfick

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun