[caption caption="Narkoba tak lagi sekadar konsumsi masyarakat di perkotaan (Gbr: KOMPAS.com)"][/caption]Saya sedang duduk persis di depan televisi, bersama Shadia, bayi saya yang baru beranjak sepuluh bulan. Persis sekitar sepekan lalu, ketika dengan tidak sengaja menyaksikan perdebatan soal perlu tidaknya menaikkan status Badan Narkotika Nasional jadi setingkat kementerian?
Ketika di TV perdebatan itu terus berlangsung, di kepala saya pun ada perdebatan tersendiri yang sedang berjibaku. Dengan pertanyaan yang sebenarnya lebih kurang mirip; Apa perlunya kenaikan status tersebut? Apa yang menjadi kelebihan jika status tersebut benar-benar jadi dinaikkan? Apa saja efek baik dan buruk dari rencana itu jika terlaksana?
Saya sama sekali tidak mencari solusi. Hanya membiarkan kepala saya sendiri untuk bertanya saja, walaupun lagi-lagi sasaran pertanyaan itu adalah ke diri sendiri saja.
Tapi, juga kerap terbetik di pikiran tentang provinsi saya berasal, Aceh. Bagaimana tidak, jengkel atau tidak, marah, tapi mau tak mau kerap harus mengiyakan, ketika misalnya Aceh sempat dijuluki sebagai "Negeri Ganja", merujuk ke salah satu tanaman yang juga dinilai bagian dari narkoba. Di sana, alih-alih memberantas ganja, justru barang haram lainnya pun kian memasyarakat, dari ekstasi hingga sabu-sabu dan sejenisnya.
Meski lebih dari lima tahun saya belum pernah pulang lagi ke Aceh, kabar dari teman-teman di sana, kerap membuat saya merasa trenyuh. Belum lama, saya menerima telepon dari seorang teman di Aceh yang awalnya bercerita tentang beberapa teman lainnya yang mulai kian berperan di masyarakat. Sebagian terjun ke dunia politik, dan ada juga beberapa yang kini memegang jabatan, dari menjadi kepala desa hingga mendapatkan jabatan tertentu di level kabupaten dan provinsi.
Banyak yang berubah. Terbetik di pikiran saya, agak sedikit melamun ketika mendengar sang sahabat bercerita.
"Jangan berpikir semua sudah lebih baik," ucap si teman tadi, seperti mewanti-wanti. "Kian tinggi jabatan mereka, kian banyak  tanggung jawab mereka ke masyarakat, tapi kian sedikit tanggung jawab mereka ke diri sendiri."
Saya memilih untuk hanya mendengar dan menggumam, sesekali, agar si teman leluasa bercerita. Kalimatnya seperti sedang menyimpan suatu kekecewaan, yang menghapus keceriaan yang seharusnya mengisi aura dalam kata-katanya.
"Sebagian dari teman-teman kita justru jatuh," dia melanjutkan. "Jabatan lebih baik, jalan mencari uang pun sudah lebih baik, tapi
yang buruk justru cara mereka memanfaatkan uang. Sekarang, sebagian dari mereka menjadi penjudi kelas berat, sedangkan sebagian lainnya menambah lagi dengan mengonsumsi obat-obatan terlarang. Ganja sudah masuk kelas bawah. Tidak elite. Sekarang sudah merambah ke ekstasi hinggasabee (sebutan masyarakat Aceh untuk obat-obatan jenis sabu-sabu)."
Lalu sang teman tadi menyebutkan beberapa nama yang memang pernah dekat dengan kami, terutama di masa remaja, tahun 1990-an dulu.
Di sinilah, urat syaraf saya terasa lebih menegang. Pikiran iseng pun berkelebat, kok orang-orang terkesan lebih massif mengampanyekan bahaya rokok dan mencegahnya, tidak seimbang dengan kampanye narkoba? Mungkin ini bukan kesimpulan objektif, tapi inilah kesan yang sempat muncul di benak saya, di sela-sela obrolan saya dengan sang teman.
Sampai kemudian saya pun sedikit meng-interogasi si teman; kok bisa barang haram yang lebih parah dari ganja itu bisa merangsek hingga kabupaten kita yang terbilang masih "sangat kampung". Hingga dia bercerita tentang bagaimana mobile-nya masyarakat di daerah saya tersebut dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya, tak terkecuali dari satu provinsi ke provinsi lainnya.
Medan, Batam, Riau, Pekanbaru, menjadi sederet nama kawasan di Sumatra yang menurutnya menjadi tempat dari para pengedar dan juga pembeli.
"Saat ada ganja dari kawasan kita, mereka membawanya ke sana. Terkadang uang dari sana, disulap lagi untuk membeli sabee. Harga di daerah kita, sabee menjadi lebih mahal dibandingkan ganja. Ada urusan dompet (ekonomi, pen) yang menjadi logika mereka, dalam berjual beli itu. Nah, mereka yang baru mendapatkan jabatan, atau yang mendapatkan jabatan namun sebenarnya tak mampu menjalankan tugasnya, pusing, larilah mereka pada penggunaan obat-obatan
itu tadi."
Menyimak ceritanya, alur beredarnya narkoba itu saya kira memang tak jauh berbeda dari tempat-tempat lainnya di Indonesia. Begitu juga motif dari penggunanya. Senada dengan yang pernah diungkapkan Troels Vester dari Lembaga PBB untuk Kejahatan Narkoba (United Nations Office on Drugs and Crime), "Crystalline Methampetamine terutama masuk dari Malaysia dan diselundupkan ke Aceh, Medan dan daerah lain di Sumatra," seperti dilansir Deutsche Welle, 2015 lalu.
Di sinilah berkelebat di pikiran saya, jika pergerakan peredaran narkoba itu bisa sedemikian massif, sedemikian jauh, dan begitu kuat, bagaimana bisa membiarkan institusi yang bertanggung jawab menangani dan memberantasnya hanya dengan tenaga ala kadarnya saja?
Pikiran sederhana saya, kian besar masalah yang dihadapi seharusnya kian besar kekuatan yang dimiliki untuk menghadapi masalah itu. Syukur-syukur, titik yang menjadi solusi jauh lebih besar dibanding masalah yang ada.
Terlebih lagi, berkaca ke kasus Aceh, maka saya berkesimpulan bangkitnya animo, market, dan berbagai unsur terkait dengan dunia narkoba itu sangat cepat. Alasannya, dulu, yang saya ketahui, kalaupun ada pengguna dan penjualan obat-obatan terlarang, yang lebih banyak justru ganja dan ganja.
Banyaknya peredaran ganja di Aceh saat itu, sempat memunculkan guyonan di kalangan saya dan teman-teman saat itu; bukan tak mungkin, satu hari kelak "Negeri Serambi Mekkah" berubah menjadi "Serambi Ganja".
"Sekarang, dengan berubahnya bentuk barang memabukkan yang dikonsumsi, kita sepertinya juga bisa saja menjadi Serambi Narkoba--lebih meluas dari sekadar ganja," teman yang menjadi lawan bicara saya di ujung telepon, berkelakar. Ya, bukan tak mungkin, kelakar itu bisa saja menjadi serius di masa depan. Tidak hanya di Aceh saja, tentunya, tapi juga di level nasional. Tergantung, seberapa serius pemerintah dalam menguatkan lembaga yang bertanggung jawab menangani hal itu? Membiarkan lembaga seperti BNN bekerja dengan tenaga yang ada, mungkin mereka masih bisa bekerja mati-matian, tapi sulit mengkhayalkan mereka mampu mematikan gurita narkoba.* Twitter:@ZOELFICK
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H