Sampai kemudian saya pun sedikit meng-interogasi si teman; kok bisa barang haram yang lebih parah dari ganja itu bisa merangsek hingga kabupaten kita yang terbilang masih "sangat kampung". Hingga dia bercerita tentang bagaimana mobile-nya masyarakat di daerah saya tersebut dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya, tak terkecuali dari satu provinsi ke provinsi lainnya.
Medan, Batam, Riau, Pekanbaru, menjadi sederet nama kawasan di Sumatra yang menurutnya menjadi tempat dari para pengedar dan juga pembeli.
"Saat ada ganja dari kawasan kita, mereka membawanya ke sana. Terkadang uang dari sana, disulap lagi untuk membeli sabee. Harga di daerah kita, sabee menjadi lebih mahal dibandingkan ganja. Ada urusan dompet (ekonomi, pen) yang menjadi logika mereka, dalam berjual beli itu. Nah, mereka yang baru mendapatkan jabatan, atau yang mendapatkan jabatan namun sebenarnya tak mampu menjalankan tugasnya, pusing, larilah mereka pada penggunaan obat-obatan
itu tadi."
Menyimak ceritanya, alur beredarnya narkoba itu saya kira memang tak jauh berbeda dari tempat-tempat lainnya di Indonesia. Begitu juga motif dari penggunanya. Senada dengan yang pernah diungkapkan Troels Vester dari Lembaga PBB untuk Kejahatan Narkoba (United Nations Office on Drugs and Crime), "Crystalline Methampetamine terutama masuk dari Malaysia dan diselundupkan ke Aceh, Medan dan daerah lain di Sumatra," seperti dilansir Deutsche Welle, 2015 lalu.
Di sinilah berkelebat di pikiran saya, jika pergerakan peredaran narkoba itu bisa sedemikian massif, sedemikian jauh, dan begitu kuat, bagaimana bisa membiarkan institusi yang bertanggung jawab menangani dan memberantasnya hanya dengan tenaga ala kadarnya saja?
Pikiran sederhana saya, kian besar masalah yang dihadapi seharusnya kian besar kekuatan yang dimiliki untuk menghadapi masalah itu. Syukur-syukur, titik yang menjadi solusi jauh lebih besar dibanding masalah yang ada.
Terlebih lagi, berkaca ke kasus Aceh, maka saya berkesimpulan bangkitnya animo, market, dan berbagai unsur terkait dengan dunia narkoba itu sangat cepat. Alasannya, dulu, yang saya ketahui, kalaupun ada pengguna dan penjualan obat-obatan terlarang, yang lebih banyak justru ganja dan ganja.
Banyaknya peredaran ganja di Aceh saat itu, sempat memunculkan guyonan di kalangan saya dan teman-teman saat itu; bukan tak mungkin, satu hari kelak "Negeri Serambi Mekkah" berubah menjadi "Serambi Ganja".
"Sekarang, dengan berubahnya bentuk barang memabukkan yang dikonsumsi, kita sepertinya juga bisa saja menjadi Serambi Narkoba--lebih meluas dari sekadar ganja," teman yang menjadi lawan bicara saya di ujung telepon, berkelakar. Ya, bukan tak mungkin, kelakar itu bisa saja menjadi serius di masa depan. Tidak hanya di Aceh saja, tentunya, tapi juga di level nasional. Tergantung, seberapa serius pemerintah dalam menguatkan lembaga yang bertanggung jawab menangani hal itu? Membiarkan lembaga seperti BNN bekerja dengan tenaga yang ada, mungkin mereka masih bisa bekerja mati-matian, tapi sulit mengkhayalkan mereka mampu mematikan gurita narkoba.* Twitter:@ZOELFICK
Â
Â