[caption caption="Indonesia seperti sebuah klub sepak bola besar, Ridwan Kamil dan Ahok adalah dua striker penting untuk gol-gol penting di masa depan (Gambar: Kompas.com)"][/caption]Politik terkadang seperti sepak bola. Seperti apa pun riuhnya stadion tempat berlangsungnya laga, seorang pemain harus tetap fokus pada perannya. Entah ia sebagai penyerang, gelandang, bek, atau mungkin sebagai kiper.
Ridwan Kamil, di tengah riuhnya panggung politik Indonesia saat ini, ibarat seorang penyerang tangguh dalam sepak bola. Ia sudah mencetak satu gol penting lewat sebuah keputusan penting.
Ya, Hari Senin tanggal 29 Februari 2016, dunia pemberitaan berseliweran kabar tentang keputusan sosok yang acap disapa Kang Emil tersebut. Ia memutuskan tidak melanjutkan desakan sebagian kalangan untuk ia bertarung dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pilgub yang akan berlangsung dalam hitungan bulan.
Layaknya penyerang di ranah sepak bola, Emil memahami, ia tak ingin mendesak birahinya mencetak gol demi gol. Cukup satu gol saja, selama itu berdampak besar, tetaplah membuat ia ikhlas dan tak merasa rugi. Toh, satu gol itu memang sudah membuat dirinya menang, rakyat yang mencintainya menang, dan Indonesia pun turut menang.
Emil telah menang menaklukkan dirinya sendiri. Ia tak ingin ujug-ujug karena popularitasnya yang sedang di puncak. Ia tak ingin silau dengan banyaknya sanjungan.
Sebagai penyerang, ia sudah mampu menguasai riuhnya seisi stadion.
Ia sudah menggiring bola dengan cantik. Membaginya dengan berbagai kalangan; masyarakat yang dipimpinnya di kota Bandung, elite-elite politik yang dinilai ada kaitan, hingga dengan tokoh-tokoh yang memiliki misi sama dengannya dalam sebuah tim sepak bola ala ranah politik.
Ia mencetak gol. Tidak dengan cara yang didesak oleh banyak orang yang ingin menyingkirkan "rival" dalam pertarungan itu secara tragis. Ia memilih cara elegan, perlahan, dan tenang. Emil mencetak gol dengan cara yang dipahami, yang dikuasai sendiri, tetapi tetap memuaskan banyak kalangan.
Gol yang dicetaknya itu berwujud keputusan memilih mundur dari pertarungan memerebutkan kursi DKI-1. Emil justru menang tanpa perlu mengharuskan dirinya meraih kursi itu.
Hasilnya, peluang untuk dirinya meraih jabatan setara itu tetap besar. Nyaris tak ada yang menyangsikan sosok arsitek yang kini menjadi Wali Kota Bandung itu, akan menjadi Gubernur Jawa Barat. Di sisi lain, peluang Ahok untuk tetap memimpin Jakarta pun tetap besar.
Sebab andai Emil tetap melaju, tak ada yang menampik bahwa pertarungan terkuat dari semua kontestan hanya berkisar antara keduanya saja: Ridwan Kamil dan Basuki Tjahaja Purnama. Kontestan lain, mungkin menang dari sisi popularitas, tapi tak ada dalil cukup kuat jika mereka juga akan menang secara elektabilitas.
Orang-orang baik tak perlu terkonsentrasi di satu tempat. Mereka harus ada di semua tempat.
Lagi seperti di sepak bola. Satu tim tak cukup hanya dengan seorang penyerang terbaik di dunia. Itu takkan menjadi garansi untuk mengantarkan tim menguasai klasemen dan meraih gelar. Dibutuhkan kiper, bek, gelandang, dan penyerang yang sama-sama terbaik.
Sikap politik Emil kali ini mengingatkan saya pada kalimat bintang Real Madrid, Cristiano Ronaldo, "Untuk meraih sesuatu tak cukup hanya sekadar hebat, tapi dibutuhkan pemain-pemain terbaik." Tampaknya, Emil tak asing dengan prinsip tersebut.
Jika katakanlah keputusannya itu dijelaskan olehnya kepada media lantaran dorongan Presiden Joko Widodo ada benarnya, tapi tak berarti ia tak memiliki pendapat sendiri.
Saya yakin, ia sudah memiliki jawaban tersebut jauh sebelum ia menemui presiden dan sebelum ia melemparkan pertanyaan kepada publik lewat media sosialnya, harus terus melangkah atau berhenti. Terkesan seperti bimbang, terkesan seperti tak memiliki pilihan sendiri, dan itu hanya kesan yang ditangkap segelintir orang.
Ia sendiri justru sangat menyadari, pertimbangan yang ia lakukan memiliki kata "timbangan" di dalamnya. Ia melarang timbangannya condong hanya ke satu sisi, diri sendiri. Dan karena itu, ia menimbang dengan menemui orang-orang yang tepat untuk sebuah keputusan tepat.
Emil, saya kira, sangat memahami jika sebuah niat baik ditanyakan kepada orang-orang yang tidak tepat, akan menghasilkan keputusan yang tidak tepat. Karenanya, di tengah niat baiknya untuk berkontribusi kepada negaranya, ia terus mengintai orang-orang yang tepat, berbicara dengan orang yang tepat. Ia membuka jembatan demi jembatan untuk sebuah masa depan yang baik negerinya, bersama orang-orang yang tepat. Lagi, bersama keputusan tepat, dan itu sudah dipilih olehnya.
Ibarat tim sepak bola, Indonesia adalah sebuah klub besar. Tim ini membutuhkan pemain terbaik, berjiwa besar, dan bercita-cita besar (tidak sesederhana sebagian pegiat politik yang terlalu memaksa berahi politiknya). Emil sudah menunjukkan itu sebagai keyakinannya, maka itu ia memilih untuk tidak berkepala besar.*
Twitter: @zoelfick
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H