Jika seperti itu, kalian sejatinya sedang merendahkan Tuhan. Kalian berpikir Tuhan seperti bocah yang hanya meminta dituruti semua kemauan tanpa peduli apa-apa kecuali kemauannya. Lalu, bagaimana kalian bisa menyebut Tuhan Mahabesar, Mahacerdas, Maha Penyayang, Maha Pengasih, jika kalian justru mengerdilkan pesan-pesan-Nya dengan pertumpahan darah, menebar kerusakan, kebencian, dan ajakan permusuhan.
Jika permusuhan itu kalian kira sebagai suruhan Tuhan, lagi-lagi saya mau katakan, kalian telah menyamakan Tuhan seperti penderita masalah kejiwaan. Mengira Dia akan tertawa lebar saat melihat banyak anak yatim yang meratapi kematian ayah yang menjadi tumpuan harapannya, mengira Dia akan tersenyum semringah saat menyaksikan ribuan orang mati terkapar, mengira Dia akan sangat gembira jika melihat orang-orang disiksa dengan ketakutan.
Lewat surat ini, saya tidak bisa mengajak kalian untuk melupakan mimpi muluk yang setinggi langit. Kecuali hanya mengajak kembali memijak ke bumi. Bahwa, di bumi ini berlaku hukum lahir, tumbuh, dan berkembang. Selain, juga mengisi hidup untuk membawa manfaat sebesar-besarnya kepada alam dan seisinya.
Jika hidup hanya diisi dengan kebencian, permusuhan, perusakan, sejatinya sudah melawan hukum hidup yang ditulis Tuhan lewat ayat-ayat yang tidak ditulis dengan aksara. Dan, itu juga sudah melawan Tuhan.* Twitter: @zoelfick
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H