Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Karena Keluarga Juga Butuh Peta

22 Juli 2015   22:38 Diperbarui: 22 Juli 2015   23:13 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dunia pernikahan, saya terbilang sebagai pendatang baru lantaran menikah setelah beberapa tahun beranjak dari kepala tiga. Fakta lainnya, saya juga menjadi bagian di antara wajah baru yang menyandang status sebagai ayah, yang ditandai kelahiran bayi perempuan bernama Shadia Humaira Akbar, di Bandung pada 29 Mei 2015. "Sekarang, tugas besarku, ya ini...apa yang kelak bisa kulakukan untuk anak saya ini," menjadi kalimat yang berkelebat di pikiran saya, melupakan perihnya cakaran istri saat ia sedang berjuang melahirkan, di dada saya.

Ya, meski baru memiliki anak satu--dan belum berencana memiliki jumlah anak lebih banyak--tapi lumayan membuat pikiran saya jauh lebih tersita dibandingkan berbagai tantangan yang pernah saya hadapi sebagai individu. Kelahiran bayi itu telah mengubah banyak fakta; dimulai dengan status saya dari suami menjadi ayah, hingga peran yang sebelumnya hanya memimpin istri dan kini memiliki anak yang juga menuntut peran seorang pemimpin.

Di sinilah, berbagai pikiran dan berbagai perencanaan yang saya susun sejak sebelum memutuskan untuk menikah, terasa menemukan "lapangan praktik" sebenarnya. Akan bagaimana anak saya kelak? Itu yang secara terus menerus berkecamuk di pikiran saya.

Pertanyaan itu menjadi lebih serius lantaran ada berbagai fakta lainnya seputar masa-masa awal kelahiran sang bayi; ayahnya bekerja jauh darinya, harus berada di tempat berbeda dengan ibunya, dan dalam keseharian nyaris semua peran lebih banyak harus dijalankan ibunya.

Jika menyebut itu sebagai bagian dari kegundahan, ya itu juga takkan saya tampik. Terlebih saya pribadi, terlepas berbagai kekurangan sebagai manusia, kerap menjadikan syarat keseimbangan dalam nyaris segala hal. Dalam kasus ini, pikiran idealnya adalah ayah dan ibu si bayi sama-sama selalu ada di sisinya, tapi pada langkah awal justru ini tak terwujud. Inilah yang kian membuat kegundahan itu lebih membesar.

Tapi lagi-lagi, saya berusaha menekankan pada diri sendiri untuk tidak mendramatisasi keadaan, walaupun konon hidup adalah drama atau sandiwara. Persoalan keluarga, bagi saya bukan soal topeng apa yang harus dipasang, atau peran apa yang bisa dibuat-buat. Melainkan, ini adalah persoalan serius, dan menuntut persiapan, dan strategi jauh lebih serius. 

Lantas apa yang saya lakukan?

1. Komunikasi dengan Istri

Ya, Christine Mariska sebagai istri saya, yang terbilang berusia sangat muda, 25 tahun, juga bisa dikatakan masih membutuhkan waktu untuk berproses untuk menjadi seorang ibu. Sebab, fakta yang tak bisa diingkari, keberadaan seorang bayi, meski secara status telah menjadikan seorang istri sebagai ibu tapi tak lantas membuatnya telah sepenuhnya menjadi ibu. Ada proses adaptasi yang harus ia lalui, ada sederet fakta transisi yang menuntut kerja kerasnya sebagai ibu muda. Ini berat. 

Saya berusaha tidak mengingkari keadaan itu, maka itu sebagai penyandang status kepala rumah tangga, berusaha agar bisa menyiasati fakta ini sebijak mungkin--tak sekadar sebijak yang saya bisa.

Komunikasi, menjadi kata kunci yang saya coba terus terapkan, menjadi satu prinsip yang saya tekankan. Sebab di sini, sebagai suami yang notabene kerap larut dengan pikiran sebagai seorang lelaki, dituntut untuk lebih memahami alam pikiran istri yang tak bisa leluasa lepas dari berbagai dinamikanya sebagai perempuan. Ya, ada dua alam pikiran yang berbeda, latar belakang pengalaman dan pendidikan yang berbeda, hingga keluarga yang tentu saja berbeda. 

Di sana, maka saya berpikir, jembatan penting yang harus terus saya bangun adalah komunikasi itu. Setidaknya, ketika istri mengeluh, saya bisa menjadi lebih memahami, persoalan apa yang membuatnya mengeluh. Ketika ada hal yang memang menuntut andil saya--kecuali menyusui--saya berusaha untuk bisa melakukannya.

Tidak itu saja, berbagai hal lain pun, saya mengajak istri untuk berbicara--tentu saja dengan cara baik-baik. Semisal, apa saja yang boleh dan tak boleh dilakukan, karena dalam hal pendidikan anak, saya pribadi penganut keyakinan bahwa pendidikan anak dimulai sejak dalam kandungan hingga lahir dan ia bertumbuh.

"Apa yang kita tampilkan di depan anak adalah pelajaran yang akan dibaca olehnya hingga ia kelak dewasa," kira-kira begitulah, kerap saya ungkapkan kepada istri, dengan nada yang memang terkadang bernada menggurui.

Maka itu, saya dengan istri kerap berusaha untuk brainstorming seputar apa yang harus dan tak seharusnya ditampilkan di depan anak. Dengan mengajak melihat secara bersama-sama, walaupun si bayi masih belum tiga bulan, dan ia belum bicara, setidaknya ia sudah mampu mendengar dan mulai bisa melihat.

Masa-masa awal itu, saya yakini akan sangat berpengaruh ke alam pikiran anak dan jiwa anak di masa mendatang, sehingga kerap mengajak istri untuk menaruh perhatian di sisi ini. Apa yang saya lakukan di sini? Berusaha menjaga emosi ketika kelelahan istri menjalani peran sebagai ibu muda kerap membuat emosinya tak stabil. Selain itu, menekankan diri sendiri untuk konsisten pada prinsip tidak mengeluarkan kata-kata yang buruk--tidak saja di depan anak, tapi juga di belakang anak.

2. Pendekatan Psikologis

Saya percaya, dalam proses awal pendidikan anak, situasi psikologis istri sebagai ibu yang notabene akan jauh lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak, bisa berdampak pada banyak hal. Luput memperhatikan ini, sekalipun seorang istri berwawasan tinggi dalam hal pendidikan anak, bisa saja berakibat kontras dengan "tabungan" pengetahuan yang ada. Itu menjadi bagian konsep yang saya coba terus tanamkan pada diri sendiri.

Maka itu, terus menerus memberikan dukungan semangat kepada istri, menjadi bagian langkah yang saya terapkan tak terkecuali ketika ia harus menghadapi kondisi di luar bayangan dia; keinginan bayi yang sulit dimengerti, tangisan bayi yang tak semua bisa diterjemahkan dengan tepat, dan berbagai hal lainnya.

Di antara cara sederhana saya tempuh adalah mengajak istri melihat dengan perspektif; Memiliki anak itu merupakan berkah ataukah musibah? Mendapatkan anak itu merupakan hal patut disyukuri atau diratapi? Merawat dan mendidik anak, apakah masalah atau tantangan? dll.

Hal-hal yang sejatinya juga masih memiliki keterkaitan dengan komunikasi, menjadi pendekatan psikologis yang saya lakukan karena berkeyakinan, perspektif dalam melakukan sesuatu akan sangat menentukan bagaimana cara hingga hasil dari sesuatu yang dilakukan. 

3. Penghargaan terhadap Istri

Ya, istri di mata saya takkan menuntut seorang suami untuk memberikan penghargaan tertentu kepadanya. Tapi, inisiatif seorang suami tentu akan sangat membantu istri untuk merasa lebih didukung oleh suaminya, sehingga membuatnya merasa lebih kuat. Kenapa? Karena saya berpandangan, memang menjadi istri membutuhkan kekuatan, dan kekuatan utama yang paling menentukan baginya dari orang terdekat dengannya, ya saya sebagai suami. Sedikitnya, ini menjadi sugesti yang saya usahakan untuk tekankan pada diri sendiri.

Pengakuan atas besarnya tugas yang diemban seorang ibu dengan statusnya juga sebagai istri, menjadi bagian langkah bagaimana menghargai istri. Sebab, soal penghargaan ini, dalam hemat saya, tidaklah harus melulu soal membelikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu. Terkadang, pengakuan lewat tatapan dan pelukan, disertai ucapan, "Terima kasih, kamu telah bersedia menjalani peran berat sebagai ibu," saya perhatikan lumayan membantu seorang istri untuk menjadi lebih bertenaga, apalagi ketika di masa awal ia menjalani peran tersebut.

Terlebih lagi, peran sebagai ibu kelak akan terus disandangnya hingga anak yang hari ini masih sebagai bayi menjadi seorang manusia dewasa. Sependek saya simak, seorang anak akan jauh lebih banyak berbicara, bergaul, bertanya pada ibunya sendiri--tak terkecuali jika misalnya istri tersebut juga bekerja.

Itu, sedikitnya, cukup menjadi sebuah acuan bahwa cara berpikir hingga perilaku seorang anak juga akan merujuk pada apa yang lebih intens dihadapinya, dan itu adalah ibunya--tanpa bermaksud menafikan efek perilaku seorang ayah.

Kemudian, menjadikan "penghargaan" sebagai salah satu pondasi, saya kira akan lebih berdampak positif sebagai kultur keluarga yang kelak bukan tak mungkin membawa warna jauh dari sekadar cerita ibu, ayah, dan anak-anaknya.

Sebab, dari berbagai fakta yang juga saya simak di sekeliling, kenapa bisa terjadi situasi "broken home" dari rumah tangga utuh tapi berjalan buruk atau bahkan hancur, yang kerap menjadi momok terjadi acap kali tak lepas dari soal penghargaan yang dinafikan. Sederhananya, seorang istri takkan meremehkan suami, suami takkan bertindak kasar ke istri, dan anak takkan berkelakuan buruk kepada orangtua, jika masalah penghargaan dan saling menghargai menjadi perhatian dan melihatnya sebagai sesuatu yang penting.

Perilaku-perilaku buruk di dalam sebuah keluarga (baca: pendidikan buruk), bisa terjadi--lagi, dalam kacamata  subyektif saya--lantaran ada pemicu yang dilupakan itu. Sekilas itu hanya persoalan seorang istri dan suami, misalnya, tapi pada faktanya kerap berujung pada gangguan secara psikologis pada anak. Ketika ini kian parah, bukan hal mengherankan jika seorang anak bisa melakukan hal buruk hingga terjerumus ke narkotika dan berbagai perilaku kriminal. Terlebih, seingat saya, ada penelitian yang menyebut bahwa pelaku kriminal dan berbagai perilaku menyimpang jauh lebih banyak datang dari seorang anak yang tumbuh di tengah keluarga yang buruk.

 

4. Menegaskan Istri sebagai Partner

Prinsip ini lebih saya tegaskan pada diri sendiri; sebagai kepala keluarga, sebagai suami, dan sebagai ayah untuk anak saya. Sebab, saya melihat menegaskan posisi ini dengan jelas, akan sangat membantu untuk seorang suami tak mentang-mentang atau semena-mena.

Penegasan ini, menurut hemat saya, melatih pikiran untuk terpola lebih objektif dan mengikis egoisme sebagai suami yang konon sebagai "imam". Agar lebih terdorong untuk belajar menghargai alih-alih hanya berharap dihargai, untuk tergerak memulai melakukan sesuatu daripada menyuruh, dan berbagai sikap senada lainnya.

***

Ya, itu hanya sebagian dari sederet konsep dalam berkeluarga, tentunya. Dan, tentu saja masih banyak hal lainnya yang dibutuhkan ketika berbicara apa saja yang dibutuhkan dalam keluarga. Paling tidak, hal-hal seperti itu, saya kira bisa menjadi bagian pondasi yang akan membantu agar misi pendidikan anak sebagai poin terpenting dari keluarga, bisa berjalan dengan baik bahkan hingga kelak saya dan istri sebagai orangtua, meninggalkan dunia.

Jika berkeluarga diibaratkan sebagai perjalanan, maka perjalanan yang terarah tentu saja membutuhkan peta yang jelas. Dan, sebagai orangtua--lagi, meski sebagai pendatang baru--berusaha untuk tak pernah berhenti membuat peta-peta lebih baik. Ringkasnya, jangan sampai ada warisan masalah bagi anak hanya karena kelalaian orangtua dalam melihat; bahwa guru pertama bagi seorang anak dalam hidup mereka adalah orangtua mereka sendiri. (@zoelfick)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun