Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sisi Plus Film Java Heat

1 Mei 2013   01:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:20 1466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1367347866253424470

[caption id="attachment_258247" align="aligncenter" width="464" caption="Gbr: Bubblews.com"][/caption] "Kalian Amerika hanya mau bicara saja, tapi tidak pernah mau mendengar!"

Itu adalah cuplikan kalimat yang meluncur di salah satu adegan di film bertitel Java Heat. Kalimat yang  diutarakan oleh tokoh utama, Letnan Hashim yang diperankan oleh Ario Bayu. Adegan itu berlangsung saat perwira di Detasemen 88 tersebut berdebat dengan Letnan Jake Travers yang merupakan mata-mata Amerika.

Sesuatu yang paling membekas di pikiran saya saat melangkah keluar dari bioskop seusai menonton film ini adalah kebanggaan. Iya, karena ini merupakan film langka. Langka dari sisi bahwa di sini terlibat beberapa figur yang memang berkebangsaan Amerika. Sebut saja Mickey Rourke yang berperan sebagai bos penjahat kelas dunia di film ini. Sosoknya adalah aktor USA yang sudah berperan di beberapa film terkenal Hollywood seperti Iron Man 2 dan The Expendables.

Lazimnya, di banyak film Amerika, terdapat banyak adegan mengada-ada. Di beberapa film, setting cerita berkaitan dengan Perang Vietnam di mana Amerika kalah dan rugi besar, bisa digambarkan seolah mereka sebagai pemenang. Berbeda di Java Heat, di sini Amerika sedikit ditelanjangi. Di film ini disebutkan sindiran-sindiran yang memperlihatkan tabiat "Negeri Paman Sam" apa adanya.

Terlebih lagi, posisi Letnan Jake yang diperankan Kellan Lutz sama sekali tak terlihat superior. Sesuatu yang lagi-lagi berbeda dari tokoh-tokoh penegak hukum Amerika yang kerap digambarkan seolah seperti malaikat. Dalam salah satu adegan duel antara Letnan Hashim dan Jake, agen Amerika itu mampu dirobohkan hanya dengan satu gerakan. Di sana, Hashim dengan bangga berucap, "Ini pencak silat! Seni bela diri khas Indonesia!"

Itu sebagian kecil kesan yang saya dapatkan dari film yang bermodal USD 15 juta tersebut. Selebihnya, saya melihat beberapa hal lain yang positif dari film ini:

1. Pesan nasionalisme

Penonjolan peran pada sosok Letnan Hashim yang mewakili Detasemen 88 sebagai figur yang saleh dan tegas meninggalkan kesan positif. Pasalnya, belakangan detasemen yang katanya didirikan untuk menumpas terorisme itu kerap digambarkan sebagai kesatuan yang sadis, plus berbagai steretype negatif lainnya. Setidaknya itu yang tergambar jika menyimak beberapa pemberitaan terkait kesatuan itu.

Di beberapa adegan, Letnan Hashim juga diposisikan lebih dominan daripada Jake yang sedikitnya mewakili ke-Amerikaan. Dalam beberapa adegan lain, Hashim juga menegaskan dirinya sebagai polisi yang bertanggung jawab dalam tugasnya. Selain, ia juga digambarkan sebagai polisi yang punya pendirian yang memberikan citra bahwa kepolisian di Indonesia berkarakter kuat. Di samping ia pun menjadi polisi yang memiliki sisi kemanusiaan tinggi. Hashim diperlihatkan sebagai polisi dengan perasaan halus yang tergambar dalam adegan saat ia men-talqin-kan (membantu mengucap syahadat menjelang sekarat) teroris yang menjadi musuhnya.

Adegan-adegan yang ditampilkan Hashim mengesankan bahwa polisi Indonesia sebagai figur yang penuh pengabdian, lurus. Terlepas, bahwa banyak catatan yang di luar film ini cenderung begitu parah menyudutkan kepolisian oleh pihak media, dan, tentu saja karakter beberapa oknum di kepolisian sendiri.

2. Mengangkat kelebihan Indonesia

Secara tak langsung, film ini mengangkat Indonesia. Alasannya, Candi Borobudur yang dijadikan sebagai salah satu tempat yang sangat ditonjolkan, ini jelas membantu memperkenalkan satu tempat yang selama ini menjadi simbol kebesaran peradaban dan sejarah di Indonesia.

Selain itu, juga digambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia di Pulau Jawa. Ini, dari sudut pandang internasional, jelas merupakan satu hal cukup layak diapresiasi. Pasalnya, jika hanya dengan film dokumenter takkan begitu saja menggugah orang luar mengenal negeri ini, maka dengan film ini justru akan membantu itu terjadi.

3. Tidak terlalu menonjolkan kekerasan

Sisi ini bagi saya merupakan satu kelebihan yang berada di atas kelebihan lainnya yang dimiliki film ini. Memang, terdapat beberapa kekerasan di dalamnya, apalagi Java Heat memang film laga. Namun, kekerasan di sini tidaklah terlalu vulgar. Beberapa aksi duel yang ditampilkan tidak begitu telanjang menampakkan sisi kekerasan itu.

Bahkan, jika di beberapa film lain yang memuat soal penculikan cenderung mengerasi tahanan untuk menguatkan akting pemain, di sini justru tak terlalu dimunculkan. Terdapat scene saat Letnan Jake ditahan karena dicurigai terlibat pengeboman, namun dalam ruang pemeriksaan ia nyaris tidak disiksa. Dari sisi ini, jelas itu menjadi sesuatu yang berbanding terbalik dengan yang kerap kita dengar di tengah masyarakat yang pernah mengalami ruang pemeriksaan di kepolisian.

Di sini, saya tidak mencoba mengulik kelemahan film ini hanya karena pertimbangan tak terlalu banyak film Indonesia yang bisa disandingkan dengan Java Heat! (FOLLOW: @zoelfick)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun