Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Rahasia dari Dapur Kompasiana

15 Desember 2013   06:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:55 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_308730" align="aligncenter" width="600" caption="Buku yang ditulis oleh sosok di balik kelahiran Kompasian (Gbr: Zulfikar Akbar)"][/caption]

Jika ditanyakan, siapa yang paling mengenal Kompasiana, maka hanya satu nama yang layak ditunjuk: Pepih Nugraha. Alasannya jelas, karena dialah otak berdirinya sebuah wadah agar mereka yang bukan wartawan pun memiliki tempat untuk menulis. Saya sering bertemu sosok yang saat ini menjadi tokoh Jurnalisme Warga (Citizen Journalism), terkadang di warung makan, terkadang di pinggir jalan, tak jarang cuma lewat Blackberry Messenger. Tapi terang saja, dalam sejumlah pertemuan dengannya itu, tak serta merta membuat saya kian mengenal pikirannya, apa saja gagasan dia, dan kenapa dia begitu memberikan dedikasinya untuk Kompasiana?

Sekali waktu, sambil pacaran, saya menyambangi toko buku di kawasan Jalan Merdeka, Bandung. Di sana terdapat Gramedia yang berdiri berseberangan dengan salah satu mall terbesar di kota berjulukan "Paris van Java" itu. Biasa, setiap pacaran, maka salah satu tempat kencan saya di toko buku. Beruntung si pacar pun tak mengeluh saat dia 'diselingkuhi' dengan buku. Ringkasnya, tibalah saya di dalam toko buku itu.

Ah, alangkah bangganya saya berada di dalam toko buku dan menemukan buku-buku yang ditulis oleh orang-orang yang saya kenal dan mengenal saya. Salah satu di antara buku dengan penulis yang saya kenal, dengan bukunya berada di daftar buku baru saat itu, adalah sosok yang kerap saya sapa dengan Kang Pepih itu.

Dari sini saya melihat, andai sosok ini bisa lebih narsis sedikit, ia bisa saja mengampanyekan buku-buku yang sudah dilahirkannya. Terlebih sebelumnya ia lebih banyak hanya menjadi editor saja--selain sebagai wartawan di harian Kompas. Maka, setelah membeli bukunya berjudul, "Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman," saya tertantang untuk menguliknya.

Ya, di dalam buku yang terbit pertama kali pada Oktober 2012 itu, Pepih banyak berbicara soal Jurnalisme Warga. Tak terkecuali, tentu saja, apa dan bagaimana Kompasiana yang ditetaskan dan lama dikawal olehnya. Namun, hal paling menarik, dari mana ia menemukan ide sehingga muncul gagasan untuk membidani lahirnya media sosial berkonsep "Sharing and connecting" ini?

Dari mana penggagas berdirinya kompasiana menemukan ide Citizen Journalism?

Dalam buku Citizen Journalism-nya, Pepih menjadikan tahun 2005 sebagai titik balik baginya dalam hubungan dengan konsep jurnalisme di luar mainstream tersebut. Menurutnya, pada tahun itu, ia sendiri masih sebagai wakil kepala biro Kompas di Jawa Timur dikunjungi oleh Luwi Ishwara. Sosok terakhir, ditegaskan Pepih sebagai guru baginya. Dalam sebuah diskusi saat menerima kunjungan itu, semua itu berawal. Hanya berangkat dari istilah "We the Media". Pepih mencatat itu dan juga tokoh di balik istilah itu, Dan Gillmor.

Tak lama, Pepih ke Jakarta dan ia memanfaatkan waktu untuk mencari buku terkait di Pusat Informasi Kompas. Di sana ia menemukan buku, "We the Media; Grassroots Journalism by the People, for the People." Lantas, pria kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1964 itu membaca, mencerna, dan terus mencari berbagai referensi lain yang tak jauh-jauh dari jurnalisme warga yang merangsang rasa penasarannya itu.

Ia menemukan betapa jurnalisme warga itu merupakan sesuatu yang penting. Ia tercerahkan, bahwa wartawan tak memiliki kekuatan super untuk berada di semua tempat. Beberapa kejadian yang dijadikan latar belakang konsep jurnalisme 'aneh'--karena sebelumnya tidak sepopuler sekarang--berada jauh di Amerika Serikat (seperti dikutip dari buku Gillmor). Salah satunya adalah kasus pembunuhan John F. Kennedy pada awal tahun 1960-an. Pasalnya saat itu seorang warga merekam insiden itu dalam bentuk video oleh seorang warga biasa.

Kasus lain, terdapat warga kulit hitam pada 1990-an bernama Rodney King yang disiksa oleh polisi kulit putih di Los Angeles. Kejadian ini juga direkam oleh warga biasa dengan menggunakan handycam. Tak kurang, Pepih pun menjadikan kejadian yang terjadi di daerah saya, Aceh. Yang dimaksud adalah  ketika kejadian Tsunami Aceh 2004, direkam oleh seorang gadis lewat hanya melalui ponsel yang kemudian ditayangkan MetroTV.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun