[caption id="attachment_314243" align="aligncenter" width="540" caption="Entah jika ini menjadi calon presiden (Gbr: berita8)"][/caption]
Di mata sebagian masyarakat, Farhat Abas terlanjur menjadi orang terkenal. Di mata sebagian lainnya, pengacara ini terlanjur diberi pentas untuk bicara. Satu kesimpulan yang kurang enak untuk saya umbar dalam tulisan. Tapi dengan terpaksa saya harus jujur atas apa yang saya rasakan dan pikirkan tentang pengacara ini. Ia telah memelintir peran pengacara sebagai kuasa hukum, menjadi pengacara yang memaksa banyak orang untuk maklum.
Ya, banyak orang sepertinya memaksa diri untuk bisa memaklumi pengacara satu ini. Meski sulit dipahami bagaimana caranya pengacara yang kerap menangani kasus hukum dialami selebritas ini lulus sebagai advokat. Sementara untuk bisa mendapatkan tempat di jajaran para advokat--sebagai nama lain pengacara--harus menempuh pendidikan khusus di luar pendidikan sarjana di kampus. Pun membutuhkan ujian profesi agar layak disebut sebagai advokat, sebagai pengacara, sebagai kuasa hukum.
Tapi dia adalah seorang pengacara. Rekam jejaknya terbilang unik. Ia terlahir di Riau, bersekolah di SMA 70 Jakarta, dan kuliah di Universitas Pasundan Bandung. Seterusnya, pernah mencalonkan diri sebagai bupati di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kolaka.
Ia tidak bisa memilih untuk lahir di mana, maka ia lahir di Riau. Ia bisa memilih untuk bersekolah di Jakarta dan kuliah di Bandung. Tapi ia lagi-lagi tak bisa memaksa penduduk Kolaka yang tak mengenalnya untuk memilih dia. Alhasil, iapun pernah merasakan seperti apa kekalahan saat memaksa diri menjadi kontestan di kawasan yang tak dikenalnya dan tak mengenalnya.
Ini yang saya kira menggambarkan cara berpikir seorang Farhat Abas. Suatu cara berpikir yang cenderung acak. Ia seperti tak butuh mencari korelasi, relevansi, keterkaitan, atau apapun yang sejenis dengan itu. Maka saya pun agak curiga, dari sekian perkara yang pernah ia tangani--dengan pola pikirnya seperti itu--berapa perkara yang berhasil ia menangkan? Jika memang banyak catatan keberhasilannya dalam hal yang memang ranah profesinya, saya sepertinya akan bersedia menjadi juru kampanye dia meski tak ada yang mengusungnya--sedikit berguyon.
Belakangan ia dengan percaya diri memproklamirkan dirinya sebagai calon presiden. Siapa yang mengusungnya, entahlah. Syukurlah bahwa petinggi-petinggi partai politik masih bisa dikatakan waras untuk tidak berjudi mengusung pengacara ini.
Hanya, kepercayaan diri pengacara ini mungkin tertinggi di Indonesia, saya kira. Ia juga sangat percaya diri mengampanyekan Sumpah Pocong sebagai cara menangkal korupsi. Ini yang kerap bikin saya tercenung dan sedikit tertawa, apakah saat ia kuliah dulu mengambil spesialisasi hukum pocong? Tentu ini hanya mengada-ada saja.
Tadi malam, saya merasa terhibur sekali saat pengacara ini tampil di acara Hitam Putih. Ia disandingkan dengan dedengkot acara itu, Deddy Corbuzier. Keduanya berbicara, berdialog, saling melempar sindiran.
Trenyuh saya melihat, pengacara ini sama sekali tidak merasa--atau pura-pura tak merasa--saat ia dijebak dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang diajukan kepadanya.
Ia mengomentari Ridwan Kamil di acara itu terkait kebijakan seputar sepeda. Ia memperlihatkan analisis kenapa ada gagasan untuk mengampanyekan sepeda, ia dengan polos menjawab, "Ide bersepeda itu datang karena Kamil mungkin di masa kecilnya pernah tidak kesampaian membeli sepeda, atau pernah gagal belajar sepeda...karenanya saat ia menjadi wali kota, lantas ia menjadikan impiannya bersepeda menjadi kebijakannya."
Di sini, saya menjadi satu dari sekian penduduk negeri ini yang tertawa plus terkekeh dengan jawaban sang pengacara yang konon putra Hakim Agung Indonesia. Membayangkan Indonesia menjadikan dia sebagai presiden, mungkin ia bisa mengubah negeri ini menjadi negeri paling lucu sedunia.
***
Pamor yang dimiliki Farhat Abas bukan tanpa persoalan. Saya bisa katakan, popularitas yang ia miliki bisa meracuni. Pertama, jika saja ia menjadi model untuk khalayak. Bayangkan jika publik benar-benar melihat dia sebagai seorang intelek, seorang terkenal, layak ditiru, maka yang terjadi adalah penyesatan. Hal apa yang ia sesatkan? Cara bersikap!
Katakanlah ia sebagai seorang figur publik. Ia adalah sosok yang kerap tampil di televisi, dibincangkan di berbagai media. Sementara yang ditampilkan nyaris tak ada yang benar-benar penting untuk diketahui oleh masyarakat. Sedangkan media, karena memang mendapatkan sisi berita dari sepak terjangnya, demi kepentingan penjualan, menjadi kian rajin menulis tentangnya.
Di sini pengacara itu terkecoh. Ia secara tak sadar terjebak dalam perasaan sebagai orang penting, orang yang dibutuhkan, orang yang menarik perhatian. Hasilnya ia merasa di atas yang lain, ia mengira menempati strata di atas orang lain, dan secara perlahan--maaf--ia terjebak ke dalam sejenis gangguan jiwa. Jika kesimpulan saya yang menyentuh ranah ahli jiwa ini keliru, saya persilakan merujuk ke teori-teori gangguan jiwa dan gejala-gejala psikis seseorang.
Akhirnya, apa yang menjadi harapan saya menuliskan perihal sosok ini tak lain, mudah-mudahan tidak ada yang menciptakan gambaran seorang intelektual itu seperti Farhat Abas. Semoga (FOLLOW: @ZOELFICK)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI