Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tanya: SPG Dunhill di Jalan Jaksa

21 Maret 2012   14:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:39 3384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13323419371127333425

Bersama seorang penyelidik, bukan dari kepolisian, tapi dia juga seorang rekan yang tulisannya sering wara-wiri di jagad Kompasiana ini. Iya, untuk pemain lama di Kompasiana, Herman Hasyim, yang saya sebut sebagai penyelidik ini sedang bersama saya. Di sebuah tempat, konon sangat dikenal di Jakarta, kesohor sampai ke dunia persilatan, bernama Jalan Jaksa, kami mereguk kopi dan sekaleng minuman ringan. Tapi banyak hal yang tidak ringan terlihat di sini; ya, soal gaya hidup yang terpampang telanjang di sini.

Nah, saya sebut ketelanjangan di atas toh? Pertama, karena memang di sini banyak perempuan setengah telanjang berseliweran. Maksudnya, mereka kenakan high heels, rok super mini, lengkap dengan kulit demikian licin!

Kedua, dalam bicara, mereka juga bicara dengan cukup telanjang. Kenapa ada istilah bicara telanjan? Lha iya, karena apa saja yang mereka obrolkan dengan mudah terdengar oleh orang-orang sekeliling.

Seorang perempuan, entah karena sedang menangkap basah suaminya, pacarnya, atau entah siapa. Lantas berjalan hilir mudik, menanyakan, bener gambar di kamera handphone yang ia bawa itu adalah perempuan atau bukan? Sekian orang ditemui oleh perempuan tersebut. Menariknya, perempuan tersebut memiliki suara yang cukup unik! Bukan seksi, tapi sedikit mirip suara ibu-ibu hipertensi yang sedang memaki suami karena kurang bawa mani (baca: money).

Tak kurang, saat dua belahan di bawah pinggang saya tepat menduduki kursi di salah satu kafe di sana, kembali didatangi dua perempuan yang kali ini malah menelanjangi saya!

Maaf, bukan dalam arti mereka menarik ikat pinggang saya, dst, dst. Tidak, mereka menelanjang dompet saya. Tidak banyak, cuma dua belas ribu rupiah. Bukan untuk apa-apa? Tapi untuk sebungkus rokok mild merk Dunhill.

Sambil menimang-nimang rokok keluaran The British Tobacco tersebut, saya merenung. Yang saya renungkan bukan satu hal yang teramat sangat serius, apalagi sampai dilengkapi dengan teori-teori yang terhafal dan demikian kuat terpatri (di otak dan hati). Justru, yang berkelebat hanya satu kata, dan itu adalah; perempuan!

Akhirnya, sambil obrol-obrol ngalor ke ngidul, masih dengan Herman Hasyim, di otak saya masih bercokol satu tanya (pertanyaan?), ya soal perempuan. Kenapa untuk menjajakan rokok-rokok itu harus melibatkan perempuan begitu muda? Apakah ini bukan peremehan terhadap perempuan?

Pertanyaan demikian memang sebenarnya lumayan kerap dilemparkan oleh kalangan seperti saya, orang-orang yang konon konservatif. Orang-orang yang kerap ditunjuk batang hidung sebagai kalangan sok moralis.

Tapi, sejauh ini memang pertanyaan demikian belum menemukan titik jawaban hingga ke titik didih. Kenapa? Ya, karena soal buruk baik oleh sebagian orang dipandang relatif. Buruk di pandangan sementara orang, belum tentu buruk di sebagian lainnya. Selalu ada tesis antitesis. Selalu ada pertarungan, perdebatan, tak terkecuali hingga berakhir pada perang; piring-piring pecah di rumah juga ekspresi perang skala kecil.

Lagi-lagi memperdebatkan hal demikian tidak dengan serta merta memberikan jawaban. Tidak begitu saja membawa pada satu konklusi. Tak ayal, untuk hal seperti demikian pun harus melibatkan keniscayaan konspirasi. Berkoar-koar sendiri lebih dipandang tidak lebih sebagai basa-basi, dipenggal "basa" menyisakan "basi". Jamak disepakati, sesuatu yang basi takkan ada yang dengan girang untuk mengonsumsi.

Lha, ada pertanyaan yang belum terjawab. Ya, soal kenapa di atas tadi?

Akhirnya, seperti saya katakan ke Herman Hasyim. Memang, tidak semua pertanyaan harus membawa pada jawaban. Tapi setidaknya masih ada yang bisa ditanyakan. Mungkin sekarang hanya bisa lahir orang-orang yang cerdas bertanya, namun ke depan, boleh jadi akan lahir lebih banyak lagi generasi yang cerdas dalam memberikan jawaban. Toh, jawaban muncul hanya karena sudah ada yang memberikan pertanyaan. Yap, dunia tanpa pertanyaan adalah dunia yang tidak membutuhkan keberadaan akal.

Minuman ringan di hadapan saya sudah ludes. Obrolan tidak berujung ini juga harus saya ludeskan sampai di sini. (FOLLOW: @zoelfick/ gbr: Kaskus.us)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun