Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meuseuraya: Tradisi Kebersamaan di Tengah Masyarakat Aceh

1 Mei 2011   08:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:12 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_106432" align="aligncenter" width="640" caption="Acara khanuri blang yang merupakan salah satu simbol kebersamaan ureueng Aceh (Repro: deptan.go.id)"][/caption]

"Jak sajan tapeugleh gampoeng geutanyoe. Yah-yah, rakan-rakan dan kawom mak keunoe neulangkah tameusahoe tapeugleh gampoeng!" Dari mesjid kampung, lewat pengeras suara terdengar suara himbauan untuk untuk ureung gampoeng (warga) berkumpul. Suara ajakan tersebut disahuti warga dengan membawa peralatan apa saja yang ada di rumah untuk dibawa untuk meuseuraya.

Meuseuraya adalah sebutan ureung Aceh untuk menyebut sebuah kegiatan yang merupakan ciri khas umum masyarakat nusantara, gotong royong. Tradisi ini di satu sisi memang hanya mudah ditemui di desa-desa. Namun begitu, di beberapa tempat yang berdekatan dengan kota seperti Banda Aceh, tradisi demikian masih juga bisa ditemui. Sekalipun tidak sekuat desa-desa yang masih lebih kental dengan semangat kebersamaannya.

Di sini harus diakui, untuk desa yang berada berdekatan dengan kota seperti pusat propinsi Aceh ini sedikit terbawa kebiasaan masyarakat kota yang cenderung lebih percayakan hal-hal yang berbau kebersamaan itu dengan model "mewakili". Artinya, kalau misal sedang ada rapat desa, biasanya mereka yang mungkin memiliki kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan akan menyerahkannya pada seseorang yang ia percaya. Kalau memang kegiatan meuseuraya tersebut membutuhkan uang, mereka ini biasanya lebih memilih menjadi donatur atau yang membantu pendanaan seperti untuk kebutuhan makan dan minum warga selama berjalannya kegiatan meuseuraya tersebut.

Sedangkan di desa-desa yang agak berjauhan dengan kawasan perkotaan. Mereka sangat menjunjung tinggi kebersamaan yang oleh ureueng Aceh acap disebut dengan meuseuraya ini.

Memperhatikan wajah-wajah warga desa ketika bersama-sama melakukan kegiatan apa saja yang membutuhkan partisipasi semua penduduk. Di sana saya menemukan aroma ketulusan yang cukup kuat. Tidak mereka pedulikan peluh yang mengucur dari wajah. Mereka tetap dengan semangat melakukan apa pun yang bisa mereka lakukan mengambil bagian dalam pekerjaan dalam kegiatan meuseuraya ini.

Di Aceh, kegiatan meuseuraya ini bisa ditemui dalam banyak hal. Misal saja dalam acara kenduri kawinan (khanuri kawen). Juga, dalam acara kematian (ureueng matee). Juga bisa dilihat dari kegiatan-kegiatan seperti turun sawah (troen u blang), aqiqah (peutroen aneuek) bahkan sampai dalam hal pengamanan kampung. Termasuk di sini menangkap pasangan yang terlihat bermaksud mencemari nama desa karena melakukan hal-hal yang tidak senonoh, asusila. Dan ini adalah beberapa yang saya kira penting untuk dicatat saja. Karena selain ini masih banyak kegiatan yang dilakukan dengan konsep meuseuraya demikian.

Acara Pernikahan (Khanuri kawen)

Dalam acara pernikahan, biasanya pihak keluarga akan memberitahukan pada kerabat dan tetangga terlebih dahulu. Selanjutnya mereka juga akan memberitahukan pula pada keluarga yang mungkin berdomisili di tempat yang jauh. Untuk acara-acara seperti ini, seringnya kalau di desa. Kalau pun misal ada warga yang berladang jauh dari kampung, akan tetapi kalau sedang dibutuhkan untuk acara di desanya. Maka mereka akan dengan sukarela untuk turun ke desa agar bisa ikut serta juga menunjukkan perannya.

Diawali dengan duek pakat (musyawarah). Pihak keluarga akan akan membicarakan berapa maskawin yang akan ditetapkan untuk pihak keluarga calon mempelai pria yang ingin melamar anak gadisnya. Setelah itu ditentukan dan kedua keluarga bertemu. Di sana akan dibicarakan kapan acara pernikahan akan dilakukan. Bagaimana mekanisme kegiatan yang akan dilakukan. Apakah nanti dalam acara pernikahan tersebut akan dilakukan semacam kenduri besar-besaran yang membutuhkan ketersediaan kerbau. Atau hanya kenduri biasa-biasa saja, biasanya tercermin dari pemilihan untuk hanya memotong kambing (untuk masyarakat berekonomi lemah bahkan bisa hanya dengan beberapa ekor ayam).

Jika dalam duek pakat tersebut disepakati untuk memotong kerbau. Setidaknya sampai 10 tahun lalu, pihak keluarga akan saling membantu juga untuk bisa membeli kerbau untuk dipotong di acara pernikahan tersebut. Atau, untuk keluarga yang memang memiliki kemapanan dari sisi keuangan, tentunya mereka hanya butuh masukan berapa biaya yang dibutuhkan. Selebihnya mereka akan menanggung semuanya sendiri tanpa membebani pada keluarga lainnya.

Terkait dengan kesepakatan penentuan maskawin atau jeulamee. Kalau sudah diputuskan ureung tuha (sebutan untuk bagian keluarga paling berpengaruh), sering kali ini tak bisa lagi diganggu gugat. Pakiban crah meunan beukah (seperti apa retak, harus seperti itu pecah). Filosofi ini mengisyaratkan perihal ini. Tak ayal, terkadang pilihan seperti ini juga membuahkan hal-hal yang tidak baik. Kendati kemungkinan yang tidak baik itu tidak terlalu sering juga terjadi. Sebut saja misal kalau calon pengantin laki-laki merasa maskawin yang ditetapkan sudah demikian memberatkan, mereka akan memilih untuk menghamili terlebih dahulu. Kalau sudah begini, biasanya dengan sendirinya jeulamee atau maskawin tersebut akan turun. Cuma, konsekuensinya keluarga mempelai ini akan dicap bahkan sampai ke anak cucunya dengan berbagai penyebutan yang tidak mengenakkan.

Terkait masalah itu lagi, juga tidak tertutup kemungkinan dengan melakukan pilihan yang sedikit terlihat konyol. Pemuda yang tidak sanggup lagi berpikir bagaimana bisa menjawab kewajiban pembayaran mahar dari calon mempelai perempuan akan melakukan skenario peudrop (tangkap). Di sini, nanti si pemuda akan meminta beberapa ureung gampoeng untuk meringkusnya. Setelah terlebih dahulu memberitahukan di mana ia akan menyepi dengan gadis yang ingin dinikahinya. Sekalipun ini, lagi, terlihat konyol tetapi bisa menjadi pilihan dan sebagian kecil memang melakukannya. Kembali lagi, pilihan demikian pun akan memberi konsekuensi tidak baik, pastinya pada nama keluarga mereka sendiri.

Kembali pada pernikahan umumnya. Setelah proses rapat dan penentuan segala sesuatu selesai. Maka, jelang acara nikah dan khanurinya akan ada pembukaan kenduri yang dilakukan beberapa hari sebelum acara utamanya berjalan. Kenduri pertama ini disebut dengan pajoeh bu tuha (Makan Pulut). Meski nama acaranya demikian sederhana. Akan tetapi di sini biasanya menjadi moment untuk pihak aparat desa mengatur siapa saja yang terlibat untuk mengatur kelancaran kegiatan pesta pernikahannya nanti. Dari mulai siapa yang mencuci piring, menyambut tamu sampai dengan mengurus nasi.

Ada yang menarik dalam pengaturan peran ini. Sebab urusan masak memasak pun tidak semuanya diserahkan pada kaum perempuan. Untuk memasak nasi, seringnya ureueng gampoeng akan menggali lobang sekitar beberapa meter yang agak mirip kuburan. Di sana nanti akan ditempatkan besi berukuran satu meter atau lebih untuk menempatkan dandang (periuk besar), sedang di bawahnya dipergunakan untuk menempatkan kayu-kayu bakar yang seringnya berukuran besar sampai sebesar paha. Tungku-tungku dengan model unik ini juga dipergunakan untuk memasak air dalam jumlah banyak tentunya (akhir-akhir ini saja dengan adanya banyak tempat isi ulang air minum maka soal ini menjadi lebih simpel, untuk masyarakat yang berada di dekat daerah perkotaan).

Dalam memasak tadi, pihak laki-laki mengurus dari mulai menguliti ternak yang akan dimasak, baik kambing, sapi atau kerbau. Mereka juga yang akan memasaknya di sebuah belanga besar. Sedang pihak perempuan biasanya hanya diberikan tugas untuk memasak makanan-makanan yang lainnya, atau hanya untuk menghias ruangan acara.

Turun Sawah (troen u blang).

Ini merupakan kegiatan yang rutin dilakukan. Di sini akan dibicarakan tentang kapan akan dimulai melakukan penaburan bibit. Kapan mulai musim tanam dan lain sebagainya yang berhubungan sawah. Di samping, ini juga menjadi tempat untuk masyarakat bisa bersama-sama menikmati bu leukat (nasi ketan) yang menjadi makanan khas setiap ada acara-acara demikian.

Dalam acara ini, seringnya yang menangani adalah Keujruen Blang (petugas pengairan sawah gampoeng), dan imum gampoeng (pemuka agama desa) untuk memimpin doa juga agar sawah mereka selalu dijaga Yang Mahakuasa.

Khanuri Matee

Dalam acara kematian. Menariknya, sesibuk apa pun warga desa, mereka akan meninggalkan kegiatannya untuk bisa bertakziah ke rumah keluarga si mati. Warga desa yang berkunjung (keumeunjoeng/ meukunoeng) hanya akan pulang kalau misal 4 (empat) kewajiban pertama sebagai muslim sudah dijalankan. Dari memandikan, mengafankan, menyalatkan dan menguburkan.

Masyarakat desa yang misal memilih untuk pulang sebelum semua prosesi tersebut selesai. Lazimnya mereka akan dipandang sebagai masyarakat yang mendapat sebutan hana meuphoem adat (tidak memahami adat). Kalau sudah begini, kemungkinan buruk yang bisa saja harus dialami adalah dijauhkan dari pergaulan masyarakat desa. Ini menjadi semacam hukuman adat yang tidak tertulis namun bisa saja berlaku pada siapa saja, tidak peduli seperti apa pun strata mereka di tengah masyarakat lainnya.

Dalam upacara kematian  ini pula. Masyarakat biasanya akan bersama-sama mempersiapkan segala sesuatu. Jika keluarga si mati hanya dipercayakan untuk mengatur kebutuhan semisal kain kafan dan semisalnya. Sedang untuk yang lainnya biasanya akan ditangani oleh kerabat dekat mereka. Artinya, kebutuhan untuk menyediakan makan dan minum untuk keluarga atau kerabat yang datang dari jauh, maka dengan sendirinya akan ada yang berinisiatif untuk menanganinya.

Peutroen Aneuek

Peutroen aneuk merupakan sebutan untuk acara aqiqah atau mencukur pertama sekali rambut anak yang baru lahir. Dalam kegiatan ini memang lebih banyak melibatkan kaum perempuan. Utamanya untuk kegiatan seperti meurateb (berzikir/ shalawatan). Terbalik, kaum lelaki akan menjadi penyedia kebutuhan untuk acara tersebut, seperti makanan dan sebagainya (kadangkala juga bekerjasama dengan kaum perempuan).

Beberapa tradisi demikian menjadi penegas bahwa gotong royong juga demikian mengakar di masyarakat yang dikenal sebagai tempat yang pernah lama dalam gejolak konflik. Meski dengan penyebutan yang berbeda. Semoga saja tradisi seperti ini tidak pernah tergerus jaman.

---------

Catatan ini merupakan observasi penulis di 5 kabupaten di Aceh. Meliputi Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Besar dan Aceh Utara

Terjemahan:

Mari sama-sama bersihkan kampung kita. Bapak-bapak, sahabat-sahabat dan ibu-ibu, kemari untuk kita bersihkan kampung ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun