Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meuseuraya: Tradisi Kebersamaan di Tengah Masyarakat Aceh

1 Mei 2011   08:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:12 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkait dengan kesepakatan penentuan maskawin atau jeulamee. Kalau sudah diputuskan ureung tuha (sebutan untuk bagian keluarga paling berpengaruh), sering kali ini tak bisa lagi diganggu gugat. Pakiban crah meunan beukah (seperti apa retak, harus seperti itu pecah). Filosofi ini mengisyaratkan perihal ini. Tak ayal, terkadang pilihan seperti ini juga membuahkan hal-hal yang tidak baik. Kendati kemungkinan yang tidak baik itu tidak terlalu sering juga terjadi. Sebut saja misal kalau calon pengantin laki-laki merasa maskawin yang ditetapkan sudah demikian memberatkan, mereka akan memilih untuk menghamili terlebih dahulu. Kalau sudah begini, biasanya dengan sendirinya jeulamee atau maskawin tersebut akan turun. Cuma, konsekuensinya keluarga mempelai ini akan dicap bahkan sampai ke anak cucunya dengan berbagai penyebutan yang tidak mengenakkan.

Terkait masalah itu lagi, juga tidak tertutup kemungkinan dengan melakukan pilihan yang sedikit terlihat konyol. Pemuda yang tidak sanggup lagi berpikir bagaimana bisa menjawab kewajiban pembayaran mahar dari calon mempelai perempuan akan melakukan skenario peudrop (tangkap). Di sini, nanti si pemuda akan meminta beberapa ureung gampoeng untuk meringkusnya. Setelah terlebih dahulu memberitahukan di mana ia akan menyepi dengan gadis yang ingin dinikahinya. Sekalipun ini, lagi, terlihat konyol tetapi bisa menjadi pilihan dan sebagian kecil memang melakukannya. Kembali lagi, pilihan demikian pun akan memberi konsekuensi tidak baik, pastinya pada nama keluarga mereka sendiri.

Kembali pada pernikahan umumnya. Setelah proses rapat dan penentuan segala sesuatu selesai. Maka, jelang acara nikah dan khanurinya akan ada pembukaan kenduri yang dilakukan beberapa hari sebelum acara utamanya berjalan. Kenduri pertama ini disebut dengan pajoeh bu tuha (Makan Pulut). Meski nama acaranya demikian sederhana. Akan tetapi di sini biasanya menjadi moment untuk pihak aparat desa mengatur siapa saja yang terlibat untuk mengatur kelancaran kegiatan pesta pernikahannya nanti. Dari mulai siapa yang mencuci piring, menyambut tamu sampai dengan mengurus nasi.

Ada yang menarik dalam pengaturan peran ini. Sebab urusan masak memasak pun tidak semuanya diserahkan pada kaum perempuan. Untuk memasak nasi, seringnya ureueng gampoeng akan menggali lobang sekitar beberapa meter yang agak mirip kuburan. Di sana nanti akan ditempatkan besi berukuran satu meter atau lebih untuk menempatkan dandang (periuk besar), sedang di bawahnya dipergunakan untuk menempatkan kayu-kayu bakar yang seringnya berukuran besar sampai sebesar paha. Tungku-tungku dengan model unik ini juga dipergunakan untuk memasak air dalam jumlah banyak tentunya (akhir-akhir ini saja dengan adanya banyak tempat isi ulang air minum maka soal ini menjadi lebih simpel, untuk masyarakat yang berada di dekat daerah perkotaan).

Dalam memasak tadi, pihak laki-laki mengurus dari mulai menguliti ternak yang akan dimasak, baik kambing, sapi atau kerbau. Mereka juga yang akan memasaknya di sebuah belanga besar. Sedang pihak perempuan biasanya hanya diberikan tugas untuk memasak makanan-makanan yang lainnya, atau hanya untuk menghias ruangan acara.

Turun Sawah (troen u blang).

Ini merupakan kegiatan yang rutin dilakukan. Di sini akan dibicarakan tentang kapan akan dimulai melakukan penaburan bibit. Kapan mulai musim tanam dan lain sebagainya yang berhubungan sawah. Di samping, ini juga menjadi tempat untuk masyarakat bisa bersama-sama menikmati bu leukat (nasi ketan) yang menjadi makanan khas setiap ada acara-acara demikian.

Dalam acara ini, seringnya yang menangani adalah Keujruen Blang (petugas pengairan sawah gampoeng), dan imum gampoeng (pemuka agama desa) untuk memimpin doa juga agar sawah mereka selalu dijaga Yang Mahakuasa.

Khanuri Matee

Dalam acara kematian. Menariknya, sesibuk apa pun warga desa, mereka akan meninggalkan kegiatannya untuk bisa bertakziah ke rumah keluarga si mati. Warga desa yang berkunjung (keumeunjoeng/ meukunoeng) hanya akan pulang kalau misal 4 (empat) kewajiban pertama sebagai muslim sudah dijalankan. Dari memandikan, mengafankan, menyalatkan dan menguburkan.

Masyarakat desa yang misal memilih untuk pulang sebelum semua prosesi tersebut selesai. Lazimnya mereka akan dipandang sebagai masyarakat yang mendapat sebutan hana meuphoem adat (tidak memahami adat). Kalau sudah begini, kemungkinan buruk yang bisa saja harus dialami adalah dijauhkan dari pergaulan masyarakat desa. Ini menjadi semacam hukuman adat yang tidak tertulis namun bisa saja berlaku pada siapa saja, tidak peduli seperti apa pun strata mereka di tengah masyarakat lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun