[caption id="attachment_105373" align="aligncenter" width="640" caption="Sungai itu menangis, tapi jeritnya takkan terdengar ketika telinga nurani tertutup keserakahan (Gbr: purnomo.com)"][/caption]
Terdapat guyon menarik yang disampaikan dengan polos oleh seorang rekan saat sedang obrol-obrol lepas di warung kopi di pinggiran Banda Aceh,"Untuk sekarang, apa saja harus logistik dulu maka logika bisa berjalan." Sebagai sebuah ekspresi bahwa ada uang baru pekerjaan bisa jalan.
Seterusnya membaca berbagai hal yang berhubungan dengan sebuah rencana, baik dari skala individu, rumah tangga bahkan sampai ke tingkatan negara. Memang, uang dulu baru kerja. Sebagian dengan sinis melihat itu sebagai sikap mental yang tidak kreatif. Mental para pemalas, dlsb. Namun, saat saya merenung-renung komentar-komentar sinis demikian, jadi terpikir, seandainya meminta untuk bisa dibangun sebuah gedung besar tanpa adanya uang, apakah itu bisa terlaksana?
Kemudian, tanpa adanya uang, apakah rakyat bisa mendapatkan makanan dan pakaian? Mungkin orang tersebut memiliki sebuah gebrakan super kreatif yang bisa melakukan apa saja tanpa membutuhkan uang, sepertinya kalau demikian bisa dibuktikannya, saya merasa tidak akan berkecil hati mencium lututnya.
Lupakan itu. Saya mencoba membaca-baca beberapa referensi yang berhubungan dengan keadaan Sungai Citarum. Dari sana, saya menemukan beberapa fakta yang tidak meleset dari guyon seperti yang disebut rekan saya di atas. Tetap saja membutuhkan uang yang tidak sedikit untuk bisa membuat sungai dimaksud menjadi 'sehat' kembali.
Delapan tahun lalu
Kondisi Sungai Citarum baik dari kuantitas maupun kualitas airnya sudah diketahui sangat memprihatinkan. Padahal, sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat dengan tiga waduk yang mampu memberikan air minum bagi masyarakat Jabar dan DKI, serta merupakan sumber air irigasi untuk pertanian seluas 300 ribu hektare. Juga menjadi pembangkit tenaga listrik sebesar 5 miliar Kwh/tahun. Angka itu setara dengan penghematan bahan bakar minyak 16 juta ton/tahun seperti dijelaskan Ketua Masyarakat Cinta Citarum Dr Ir Kuntoro Mangkusubroto dalam Seminar Nasional Limnologi 2002 di Bogor tepat pada Hari Bumi 22 April pada tahun tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Kuntoro menyebutkan, kini saatnya seluruh stakeholders harus memperhatikan masalah tersebut. Dari kilasan moment ketika itu, terdapat satu garis ganjil yang juga dikeluhkan Kuntoro, "antara pusat dan daerah belum ada kebersamaan". Yang tentu mengundang tanya kita yang berada di luar pagar pemerintahan,"Lho ono opo toh?"
Mantan Mentamben ini mencontohkan, pemerintah pusat misalnya menganggap Citarum merupakan sungai strategis. Sehingga mereka menginginkan pengelolaannya diatur oleh pusat. Kontradiktif dengan itu, pemerintah daerah beranggapan, karena Citarum berada di wilayah Provinsi Jabar, maka ia berhak untuk mengelolanya. "Perbedaan keinginan ini harus dicari jalan keluarnya," ujar Kuntoro.
"Akibat kondisi tersebut tiga waduk yang dialiri Sungai Citarum, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur, tidak bisa berfungsi secara optimal dan hanya mampu mengairi 220.000 Ha sawah dari sebelumnya 400 ha", Jelas Donny lebih lanjut pada saat itu seperti dilansir jabar.go.id.
"Rehabilitasi Sungai Citarum butuh dana mencapai USD 3,4 miliar dengan waktu perbaikan hingga 20 tahun", tegasnya lebih lanjut sehubungan dengan besaran dana yang dibutuhkan dan waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan 'selaput dara' Sungai Citarum.
Setahun setelah penelitian tersebut. Dalam release Kementerian Lingkungan Hidup bertanggal 14 April 2010 disebutkan: Permasalahan utama yang terjadi di Sungai Citarum ada dua hal, yakni :
- Daerah konservasi/tutupan hutan di DAS Citarum yang semakin berkurang, menurut data dilapangan kondisi di tahun 2009 tinggal 1,4 % dimana minimal harus ada 30%.
- Beban pencemaran yang tinggi, baik dari limbah domestik maupun industri. Selama kurun waktu tahun 2000 - 2009 terjadi peningkatan jumlah lahan yang dijadikan pemukiman sebanyak 116%
Dalam release dimaksud, disebutkan pula bahwa fungsi KLH untuk mengkoordinasikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2009, KLH telah melakukan koordinasi baik di Pusat maupun dengan Pemerintah Daerah untuk mensinergikan program pemulihan kerusakan lingkungan dan pengendalian pencemaran air Sungai Citarum. Koordinasi tersebut diselenggarakan melalui pendekatan pengelolaan kualitas air yang dituangkan dalam satu Masterplan Pemulihan Kualitas Air Sungai Citarum, yang menjabarkan tahapan kegiatan dan penanggung jawab kegiatan, dengan sasaran dan waktu yang jelas.
Dalam jangka panjang, seluruh segmen Sungai Citarum akan menjadi Kelas I. Namun dalam 15 tahun kedepan, Kelas I hanya bisa tercapai sampai dengan segmen sungai di Hulu Citarum, sedangkan di hilir hanya sampai Kelas II yaitu untuk mendukung peningkatan sektor pariwisata (sarana rekreasi air) dan perikanan. Untuk mengiplementasikan masterplan tersebut dilakukan strategi melalui : Pendekatan penetapan kelas air, Pemulihan kerusakan di catchment area melalui pemberdayaan masyarakat yang diarahkan pada peningkatan pendapatan masyarakat, Pengurangan beban pencemaran dari industri dan limbah domestik melalui pembangunan sarana IPAL terpadu, septictank komunal dan sewerage system, dan penegakan hukum dilakukan terhadap pelanggar tata ruang dan pencemar (Sumber: di sini).
Melihat Citarum Hari ini.
Sudah adakah berita yang lebih menggembirakan terkait progress atau pencapaian yang berhubungan dengan perbaikan Sungai Citarum? Jawabannya masih wallaahu a'lam. Mengobrak-abrik berbagai referensi terkait pencapaian yang sudah ada dimaksud, tidak juga terketemukan fakta baru yang lebih melegakan. Tidak percaya? Silakan saja membuka 'perut' Google dan berbagai jurnal dari instansi terkait, sebab jangan-jangan saya saja yang malas mengobrak-abrik data-data. Nah tuh?
Salah satu sungai (krueng) yang masih terjaga dengan baik di Aceh. Kearifan lokal terkadang menjadi pagar untuk tidak tercemarinya beningnya air sungai (Repro: Wisata Sumatra)
Akhirnya, saya hanya menujukan pada beberapa langkah yang bisa diambil. Dan ini tentu sesuai dengan kemampuan saya dalam melihat. Perlu adanya ketegasan dan komitmen yang jelas antara pemerintah daerah Jawa Barat dengan Pemerintah Pusat. Analoginya seperti rumah tangga, saat misal dalam keluarga itu anak-anak belum cukup besar untuk bisa diberikan tanggung jawab terhadap kebersihan lingkungan rumah, mosok antara suami dan istri harus saling memunggungi. Tentu, kenyataan demikian jika juga masih berlanjut, malah akan menjadi guyon lagi di tengah-tengah masyarakat seperti saya yang berada di tingkatan grassroot. Dan, ini sangat ironis jika masih saja harus tetap terjadi. Selanjutnya, memang sinergi yang diperlukan tidak hanya pemerintah saja, namun juga dengan berbagai stakeholder lain. Baik masyarakat yang ada di sekitar Daerah Aliran Sungai Citarum atau bahkan perusahaan-perusahaan yang mungkin 'tidak sengaja' ikut mendangkalkan sungai tersebut dan 'memberakinya'. Sebesar apa pun uang dikucurkan, sedang kebersamaan itu hanya di awang-awang, maka uang itu tetap akan menjadi benda mati yang takkan berdaya apa-apa. Namun, seperti apa man behind the money. Yang lebih menjadi penentu.
Yuk, kita jadikan cinta sebagai landasan untuk bisa melihat kembali sungai itu menjadi lebih baik. Kebersamaan dalam berusaha mengembalikan selaput dara sungai itu saya kira tidak mustahil, dan boleh jadi tidak perlu memakan waktu sampai 15Â atau 20 tahun lagi. Apalagi, kita yang hari ini masih peduli, siapa bisa pastikan dalam rentang waktu tersebut masih berkesempatan untuk menghirup nafas? Wallahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H