"Kenapa bisa begitu!"
"Kali ini aku ingin aku kaitkan dengan perihal cinta, ya, cinta yang sering membuat pujangga di kalangan manusia terinspirasi dan bisa lahirkan berjuta-juta puisi. Tanpa peduli apakah dibaca orang atau tidak."
Anjing sudah hentikan jilatan di bekas pembalut tadi.
"Kata bapakku..., aku jadi ingat, katanya, manusia hanya menjadikan kata cinta untuk puisi. Sedang kemudian, cinta hanya dipergunakan lelaki untuk bisa meniduri istrinya. Setelah berpeluh, cinta tadi sering juga malah menjadi kata yang terbaca sama dengan benci."
Anjing hanya tercenung, tidak mengiyakan,
"oya, tadi kubilang, kau lebih baik dari manusia jenis pejantan. Sebab, mereka tidak akan dekati kekasihnya yang menstruasi..., maksudku, yang dilihat dan mereka terima hanya ketika tubuh kekasihnya sedang sebening pualam. Yang keluar dari itu, kau tahu, tidak ada yang menarik minatnya. Apalagi sampai menjilati bekas darah selangkangan itu." Lalat seperti membiarkan anjing termangu. Tidak tertarik pikirkan apakah anjing diam karena sedang mencerna atau bahkan samasekali tidak mengerti.
"Harusnya, kukira, dengan otakku yang lebih kecil dari ujung lidi..., tidak perlu menjilat darah menstruasi, akan tetapi lelaki tidak hanya pertuhankan kemaluannya di depan pasangan mereka. Maksudku..., ketika mengawali kedekatan dengan kekasihnya dengan cinta, mereka bisa meniru ke sungai. Mereka, pejantan itu, lelaki-lelaki itu menjadi sungai yang membawa air sampai ke tempat terakhir. Sayangnya, melihat manusia, aku heran, mengganggu selera makanku..., acap kutemukan kali ini membawa air, besok berikan pasir. Keesokan harinya lagi hanya berikan batu. Nahasnya, aku tidak cukup cerdas untuk mencaci maki."
Tidak ada tanggapan dari anjing. Hanya meneruskan jilatannya di bekas pembalut itu. Tidak membantah sepertinya lebih melebarkan hatinya untuk menghayati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H