Masih tentang seekor lalat, yang bersahabat dengan anjing. Makhluk yang jikalau ditabalkan pada manusia kemungkinan besar akan membuat mereka seperti raja, merasa berhak untuk murka.
Lalat dan anjing dipandang tidak tepat untuk menjadi bagian yang bisa disebut dalam puisi dan roman-roman indah. Seperti kedua binatang itu sangat menyadari itu.
Bahkan berkali-kali, anjing ini hanya bisa berjalan menekur saja bila secara tidak sengaja harus berpapasan dengan manusia. Membatin,"Aku hanya seekor anjing...." diam, lalu lanjutkan perjalanan.
Sesekali saja ia berkesempatan bertemu kawannya, lalat kecil. Berkata-kata tanpa bumbu basa-basi. Selebihnya, masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Anjing mengendus bau-bau yang bisa mengundang selera makannya. Sedang lalat pun tak ketinggalan membaui di mana mungkin ada sisa makanan manusia. Semakin bau, kian menggugah seleranya.
Anjing tidak melamun kenapa ia tidak ditakdirkan bisa terbang seperti lalat. Sedang lalat tidak menghayal andai badannya bisa sebesar anjing. Sepertinya dalam hal berterima kasih pada pemberian Tuhan, dua binatang ini sangat mendalaminya, entahlah.
Siang itu, mereka sedang lewat di kawasan perumahan kumuh. Tempat yang tepat, kira anjing seperti juga dikira oleh lalat. Onggokan sampah dengan aroma yang menggairahkan mereka, merebak. Berbagai macam sampah bahkan berceceran di antara rumah-rumah di sana. Jangan tanyakan di kampung apa, toh anjing dan lalat tidak mengenal aksara. Tidak pernah dididik tulis baca.
Pada bekas pembalut mereka berhenti. Ada noda di pembalut itu. Entah bekas darah menstruasi? Lalat dan anjing tidak perlu pikirkan itu.
Seketika, lidah anjing sudah menjilatinya. Dan lalat masih mengitari bekas pembalut itu.
"Aku terpikir sesuatu...." lalat membuka obrolan.
Tidak ada respon dari anjing. Selain, memalingkan sesaat wajahnya ke lalat. Isyarat agar kawannya itu lanjutkan kalimatnya.
"Iya, aku jadi terpikir... Manusia jenis pejantan sepertinya masih kalah tulus denganmu..."
"Kenapa bisa begitu!"
"Kali ini aku ingin aku kaitkan dengan perihal cinta, ya, cinta yang sering membuat pujangga di kalangan manusia terinspirasi dan bisa lahirkan berjuta-juta puisi. Tanpa peduli apakah dibaca orang atau tidak."
Anjing sudah hentikan jilatan di bekas pembalut tadi.
"Kata bapakku..., aku jadi ingat, katanya, manusia hanya menjadikan kata cinta untuk puisi. Sedang kemudian, cinta hanya dipergunakan lelaki untuk bisa meniduri istrinya. Setelah berpeluh, cinta tadi sering juga malah menjadi kata yang terbaca sama dengan benci."
Anjing hanya tercenung, tidak mengiyakan,
"oya, tadi kubilang, kau lebih baik dari manusia jenis pejantan. Sebab, mereka tidak akan dekati kekasihnya yang menstruasi..., maksudku, yang dilihat dan mereka terima hanya ketika tubuh kekasihnya sedang sebening pualam. Yang keluar dari itu, kau tahu, tidak ada yang menarik minatnya. Apalagi sampai menjilati bekas darah selangkangan itu." Lalat seperti membiarkan anjing termangu. Tidak tertarik pikirkan apakah anjing diam karena sedang mencerna atau bahkan samasekali tidak mengerti.
"Harusnya, kukira, dengan otakku yang lebih kecil dari ujung lidi..., tidak perlu menjilat darah menstruasi, akan tetapi lelaki tidak hanya pertuhankan kemaluannya di depan pasangan mereka. Maksudku..., ketika mengawali kedekatan dengan kekasihnya dengan cinta, mereka bisa meniru ke sungai. Mereka, pejantan itu, lelaki-lelaki itu menjadi sungai yang membawa air sampai ke tempat terakhir. Sayangnya, melihat manusia, aku heran, mengganggu selera makanku..., acap kutemukan kali ini membawa air, besok berikan pasir. Keesokan harinya lagi hanya berikan batu. Nahasnya, aku tidak cukup cerdas untuk mencaci maki."
Tidak ada tanggapan dari anjing. Hanya meneruskan jilatannya di bekas pembalut itu. Tidak membantah sepertinya lebih melebarkan hatinya untuk menghayati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H