Saat dalam perjalanan kembali dari Bandung ke Jakarta. Seorang perempuan berkacamata, duduk di sebelah saya. Tidak berani saya lihat atau melirik, khawatir perempuan itu akan mengatakan saya jalang, meskipun diam-diam. Tidak juga saya ajak ngobrol. Penyakit akut saya berupa jaim kambuh dan langsung berada di stadium paling tinggi. Kebetulan, sebelum kaki melangkah naik ke badan kereta, saya sempatkan membeli Kompas minggu yang kebetulan saya lihat berbicara (baca: mengulas) banyak tentang Wikileaks yang bikin petinggi Amerika terkena tekanan darah tinggi--jangan percaya, karena ini hanya dugaan saya.
Sampai kereta yang sempat ramai dibicarakan tidak akan beroperasi lagi untuk jalur Jakarta-Bandung itu merangkak. Saya masih tekun pelototi Kompas. Karena sudah sore, dengan jam yang sudah melewati jam 17. Dalam jangka waktu sekitar 30, saya sudah tuntaskan membaca artikel tentang Wikileaks. Sebuah tulisan Seno Gumira Ajidarma. Ada juga catatan tentang film Indonesia. Liputan tentang tuak Medan dan Danau Toba. Catatan tentang Hawai sampai ke rubrik tentang anak. Terakhir, saya pelototi Mice yang menduda selepas tidak lagi bersama Benny yang tidak memiliki embel-embel Soeharto di ujung namanya.
Diam. Cuek. Hanya pelototi koran.
Selesai!
Berdiri. Selanjutnya melangkah ke kamar kecil. Sebuah kamar untuk buang air kecil yang benar-benar kecil, karena tubuhku saja yang kurus bisa terasa paling besar saat berada di kamar itu. Selesai menyimpan kembali baik-baik peralatan yang sudah membantu saya membuang air seni dari tubuh. Kembali ke bangku dan selanjutnya sibuk  SMS-an dengan makhluk cantik yang tadi juga mengantar saya sampai ke peron. Makhluk yang bagi saya adalah yang terindah, mirip makhluk halus karena bisa merasuki hati saya (telenovela mode).
***
Diam.
Saya memilih tidur. Mengajak teman di samping untuk bicara, ya seperti cerita tadi, sungkan. Sedangkan si makhluk cantik yang tadi saya samakan dengan makhluk halus sudah berhenti membalas sms saya. Saya tahu baterai hapenya sedang drop
***
Renungan I
Diam itu adalah tangan Tuhan yang tidak bersuara membuka keran. Ah, tentu saja bukan keran air yang bisa membasuh daki dari tubuh untuk selanjutnya ditutup. Tanpa kesan. Tetapi, keran perenungan yang membawa hati dan juga otak ikut memiliki mata yang lebih berdaya dari sekadar mata di kepala yang cuma tertarik dengan hal-hal yang ia suka saja. Keran kebijaksanaan.