Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan dari Lamunan di Argo Parahyangan

5 Desember 2010   15:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:59 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terlalu banyak bicara tidak serta merta membuat dunia lantas memiliki tangan untuk memegang microphone, dan teriakkan nama saya sebagai orang cerdas karena kepiawaian berbicara. Lha, kecerdasan yang sebenarnya tidak pernah ditentukan oleh seberapa cerdas seseorang berbicara.

Renungan II

Tidak bicara sama sekali, membuka kemungkinan untuk dijauhi karena mungkin akan disangka orang-orang bahwa pilihan sikap demikian menunjukkan keangkuhan. Padahal, sejatinya justru saat berbicara lebih kuasa membuat seseorang menjadi angkuh yang sebenarnya. Sebab, siapa bisa menduga, kemampuan otak untuk meng-handle pembicaraan agar tetap berada di garis yang membawa manfaat, malah melemah. Pasti, yang terjadi adalah mencari-cari topik seasalnya. Bahkan, tak jarang saya melihat beberapa orang cerdas, setelah tidak tahu bicara apa malah jadi menggunjing. Mencari kelemahan si pulan. Menguak-nguak kesalahan orang yang ia kenal. Maka saya tidak percaya bahwa menggunjing, bergosip itu hanya pekerjaan orang-orang yang tidak cerdas. Terbukti, ini masih ada orang cerdas yang kecerdasannya diakui banyak orang malah melakukan hal demikian. Ya, ini karena pada saat tersebut, saya termakan pandangan banyak orang,"oi, itu orang cerdas. Itu orang yang harus disegani dan itu adalah orang yang tidak berdosa kalau kemudian kita terbungkuk-bungkuk di depannya." Padahal berjalan tegak akan membuat langkah lebih leluasa terayun.

Renungan III

Siapa yang mengatakan bahwa orang yang berjalan terbungkuk dengan serta merta sudah cukup menjadi cerminan bahwa, ini orang yang rendah hati. Karena tak jarang juga saya memperhatikan orang yang berjalan terbungkuk agar lidahnya lebih dekat ke kaki orang yang sedang dihadapinya, untuk kemudian bisa lebih cepat untuk dijilat.

Seterusnya, soal tinggi hati dan rendah hati sepertinya tidak diukur dengan berjalan tegak atau terbungkuk. Tidak selalu yang terlihat bisa seketika menjadi sebuah kesimpulan yang layak dipercaya dan lalu meminta orang-orang untuk juga percaya. Maka diamlah! Jangan banyak bicara ketika memang suara yang dikeluarkan lebih diperuntukkan untuk orang-orang, dan sedikit untuk diri sendiri (lha, saya sedang perintahkan siapa?).

***

Oh iya, teman sebelah saya tadi bercerita tentang anaknya. Maka saya diam karena belum memiliki anak.

Jakarta, 5 Desember 2010

------------------------

Note

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun