Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tak Perlu Kau Buka Pakaianmu, Laila

14 Mei 2010   18:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:12 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Air yang membasahi tubuh tidak lagi lebih jernih dari warna keringat. Peluh yang basahi [caption id="attachment_141110" align="alignright" width="234" caption="Laila, kau istri siapa?"][/caption] tubuh hanya membuat diri terpenjara dalam sekat tak terlihat.

***

"Aku sudah katakan, selama kau tidak pernah bisa jaga diri dengan baik, orang-orang pasti akan gunjingkan kau! Iya, kau merasa orang-orang tidak pernah masuk ke kamar kita! Tidak pernah melihat kau mandi! Tapi mereka punya banyak mata, kenapa tidak kau lihat!!!" Hasan sudah mulai temperamental. Berang pada istrinya, Laila. Betapa tidak, ia sendiri sudah mencoba pahami kelemahan dari istrinya sejauh yang ia mampu. Selalu menasehati dengan bahasa yang selalu ia awasi untuk tidak pernah menusuk hati. Tetapi sang istri tetap memilih untuk menuli. Sampai ia kembali bertengkar dengan Po Ramlah, perempuan pendiam yang dituduh Laila sudah menggunjingnya. "Kau cuma tahu salahkan tetangga yang banyak mulut!" Hasan kian geram. Hampir ia mengambil kursi kayu dan melemparkan ke kepala Laila. "Kata-kataku tidak pernah kau dengarkan!" "Apa sebenarnya yang kau mau?!? Ingin nikah dengan lelaki lain! Ingin yang lebih muda! Jawab?!?" Melihat suara Hasan, tak urung Laila tercekat dan tidak bisa berkata-kata. Lelaki itu memang jarang marah. Ia memang lebih banyak memilih untuk diam dan diam saja, sering meredam sendiri amarahnya. Selama ini amarah itu selalu bisa ia kendalikan agar tetap terarah. Tetapi kali ini semua itu muntah. Hasan mulai merasa gerah dengan ulah Laila yang tidak pernah jera bertingkah. "Sekarang! Kau tahu?!? Gara-gara kelakuanmu yang tidak pernah pedulikan apa kata orang, sekarang aku yang ikut dimaki-maki tetangga! Kau sendiri memang mungkin sudah tidakpunya muka! Tapi kau juga sudah membuatku sedemikian tidak berharga!" Ia sudah melihat istrinya sebagai perempuan durjana. Semua berawal dari Po Ramlah yang mengejar kambingnya yang akan disembelih untuk acara aqiqah anaknya. Pintu rumah Laila menjadi sasaran kambing itu berlari. Po Ramlah yang mengejar sendiri kambing yang masih bertali ini, ikut masuk tanpa permisi ketika kambing itu begitu saja juga masuk. Persis ketika Laila sedang duduk dengan manja di pangkuan lelaki yang masih perjaka, Madi. Selanjutnya Po Ramlah cerita pada suaminya tentang semua yang dilihatnya. Padahal ketika bercerita tentang itu semua pada suaminya, Po Ramlah yang telah bercucu itu sudah wanti-wanti,"bek peugah-peugah bak gop, hana mangat (Jangan bilang ke orang lain, tidak enak nantinya)." Tapi, ini sebuah desa yang terkadang hal demikian menjadi topik yang menarik untuk dibincangkan. Lem Rani, suami Po Ramlah sambil jep kuphi (minum kopi), bercerita panjang lebar pada 2 rekannya, Banta dan Tgk Saidi. Juga ditambahi dengan kalimat,"bek peugah-peugah bak gop," tetap saja itu menjadi bola yang terus bergulir. Hingga nyaris semua penduduk kampung mengetahuinya. [caption id="attachment_141113" align="alignleft" width="186" caption="Andai jiwa selalu bisa seindah dan seteduh alam dengan ketegaran gunung. Entahlah"][/caption] Geuchik Sani sebagai kepala desa meminta Tgk Saidi yang menjadi Imum Meunasah untuk nasehati Hasan agar lebih baik dalam mendidik istrinya yang memang berusia jauh lebih muda. Mungkin alasan usia menjadi satu penyebab Laila terbiasa dengan hal yang dalam pandangan orang melihatnya tercela. Geuchik Sani menghindari sampaikan semua itu sendiri pada Hasan karena mempertimbangkan selama ini sudah seringkali ia nasehati sejoli itu tetapi tidak ada perubahan. Lewat teungku meunasah itu, Geuchik Sani berharap bisa berpengaruh di pikiran Hasan untuk kemudian disampaikan pada Laila, istrinya. Kesimpulan demikian juga baru diambil Geuchik Sani setelah menanyakan langsung ke Po Ramlah atas semua yang dilihatnya. Dalam hati Geuchik Sani sendiri merasakan geram, hatinya mendidih dan sempat berucap dalam hati,"sep dipeumalee gampoeng teueh (benar-benar ia permalukan satu desa)." Namun ia masih bisa menahan geramnya, maka memilih Tgk Saidi memegang wakilah dari kepala desa yang resah dengan polah Laila yang tak lelah berulah. Pos Kamling Gampoeng Pulo Raya menjadi tempat Teungku Saidi bicara dengan Hasan empat mata. Meskipun ia hanya seorang lelaki desa. Ia tahu menyampaikan kritik dan nasehat lebih baik memang diberikan secara empat mata saja, tidak di depan orang-orang apalagi sampai satu desa. Dengan cara begini, paling tidak Hasan tidak merasa terlalu dipermalukan. Di sini Teungku Saidi beritahukan Hasan seperti apa Islam mengatur perihal seorang suami dalam berhubungan dengan istri, termasuk menjaganya. "Kalau seorang lelaki yang sama sekali tidak menaruh cemburu pada istrinya untuk berbuat apa saja yang ia suka. Ini sama dengeuen Dayus, San. Dayus itu walaupun kau ibadah apa saja tetap tidak diterima Tuhan. Berat itu dosanya. Tetapi kita juga jangan berprasangka. Untuk nyan keueh (itulah) maka kita lelaki, kita suami harus pintar-pintar menjaga antara bagaimana menjadi suami yang tidak dayus juga tidak terus berprasangka yang bisa merusak rumah tangga. Cari cara untuk itu, dan itu jadi nilai untukmu sebagai seorang suami di mata Tuhan." Khas teungku gampoeng, cara Teungku Saidi bicara pelan dan terlihat formal, mirip dengan kebiasaannya kalau berkhotbah Jumat. Panjang lebar Hasan mendengar penuturan dari Teungku Saidi, tetapi tidak semua ditangkapnya dengan baik. Dalam hatinya sebagai seorang lelaki muncul marah yang nyaris membuatnya muntah. Melihat istrinya sudah tidak lebih dari seorang bedebah. Sekitar 30 menit acara nasehat dari Teungku Saidi. Tanpa sempat berucap salam, Hasan bergegas ke arah meunasah, tidak untuk shalat tetapi karena memang gudang meunasah yang sudah menjadi rumahnya sementara bersisian dengan meunasah gampoeng. Melihat Laila yang sedang melipat pakaian, ingin ia mencengkeram rambut istrinya itu untuk kemudian dibenturkan ke lantai. Lagi, ia berhasil menekan amarah tetapi berganti dengan sumpah serapah. "Bret mak! (Bedebah). Kau sama sekali tidak punya malu!" Kalimat itu keluar setelah ia menyuruh Ramat dengan Jannah keluar rumah. Kedua anaknya ini mengintip saja dari sela-sela dinding papan rumah sekaligus gudang itu. "Berapa ribu kali sudah kubilang?!? Jangan kau izinkan lelaki lain masuk! Mau adik atau bahkan [caption id="attachment_141112" align="alignright" width="153" caption="Andai kau punya cinta, Laila (Mahdi Abdullah)"][/caption] kakekmu yang sudah mati datang lagi, tidak boleh tanpa izin suami!!!" "Tetapi hari ini kau enteng saja manja-manja dengan anak perjaka orang! Biet muka badeuk (dasar muka badak)." Kalimat ini nyaris tidak pernah dipergunakan Hasan, tetapi sepertinya karena pengaruh lelah bekerja dan mendengar berita demikian lagi terang membuat darah mendidih. Apalagi tadi harusnya ia tidak perlu pulang terlalu cepat karena masih ada beberapa sepeda yang harus ia perbaiki namun terpaksa diurungkan karena ia dipanggil untuk bertemu kepala desa. Tetapi istri kepala desa justru memintanya untuk bertemu teungku meunasah. Lelah di tempat kerja, harus menghadap kesana kemari membuat ia kian emosi maka merasa lebih nyaman untuk sembuhkan dengan muntahkan caci maki. Laila melihat Hasan yang sedemikian marah terlihat hanya bisa menangis. Terbayang dirinya dari kecil yang tidak pernah mendapat kasih sayang dari orangtua, tetapi saat bersuami harus menerima seperti ini. Padahal sebentar saja ia bermanja dengan perjaka bernama Madi, tetapi jelang sore ini harus menelan caci maki dari sang suami. Airmata perempuan ini begitu deras mengalir. Tidak tahan ia hanya duduk dengan berlutut dan tutupi wajahnya dengan telapak tangan yang sudah disandarkan di lutut. Agar tidak terus terbawa emosi, Hasan mengambil kursi kayu yang berada dekat Laila. Plakkk!!!!! Gedebum! Dilempar ke dinding, jatuh menimpa papan tripleks tua yang dibaringkan di tanah.

***

Malam datang. Tak ada yang bicara. Bahkan Ramat dan Janah yang harusnya mengerjakan PR yang diberikan guru jadi tidak semangat untuk melakukannya, teringat pertengkaran orangtuanya jelang sore tadi.

Sedang ibunya, sejak jelang magrib berhenti caci maki dengan semua sumpah serapah dari mulut Ayahnya tertidur. Masih beruntung, dalam keadaan emosi seperti itu, Hasan tidak sampai mengeluarkan kata-kata thalaq. Dalam Islam, kata-kata itu, dalam keadaan apapun tetap jatuh cerai jika sampai diucapkan.

Berbeda saat menjelang Isya.

Dengan mata sembab, Laila berucap.

"Dari sejak Ibuku yang sudah mati aku tidak pernah di caci maki. Tapi...kau sudah caci maki. Aku sudah tidak lagi kau anggap isteri!"

Hasan berada di luar kamar berhadapan dengan pintu, duduk tanpa mengenakan baju.

"Tapi, itu juga karena kau tidak pernah mau dengar kata-kata suami, La." Suara Hasan sudah mulai pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun