Dalam bincang-bincang politik di televisi. Di artikel-artikel dengan topik yang sama di majalah dan koran. Serta buku-buku politik. Istilah alat, ralat, memperalat sering dijadikan bahan.
Alat bagi sebagian orang cenderung melihat sebagai sesuatu yang terbuat dari material "non hayati" saja. Acap terbayang cangkul, parang, pisau, dan sebagainya (saya memilih jenis alat tersebut karena memang saya sendiri orang kampung).
Memang ada apa dengan alat? Ternyata saat merujuk pada berbagai referensi tentang sejarah peradaban manusia, persoalan alat sering menjadi bagian bahasan juga. Karena memang alat memberi pengaruh besar sekaligus sering dijadikan indikator tingkat kemajuan peradaban.
Konsep Berbeda
Iya, terdapat konsep yang berbeda saat melihat soal "alat" dari sudut pandang diluar pola "orang kampung" seperti saya. Alat itu tidak melulu hanya cangkul, parang dan sejenisnya. Manusia juga bisa menjadi alat.
a. Besar-Kecil
Yang merasa besar, kebesaran atau apapun sering menjadikan yang kecil sebagai sasaran alat-memperalat--kadang-kadang tidak ada upaya meralat dengan permintaan maaf karena dipandang memalukan.
b. Kaya-Miskin
Sebuah kemungkinan yang umum terjadi, orang-orang miskin sering harus lebih mendengar yang lebih kaya. Keuntungan besar untuk Si Kaya, dengan efek manfaat kecil untuk Si Miskin. Apakah itu kesalahan Si Kaya? Atau justru kesalahan Si Miskin? Tidak penting mencari yang salah. Setidaknya, kita tidak menjadi bagian dari kedua tipe itu. Baik menjadi korban maupun dikorbankan. Tetapi kita lurus sajalah.
c. Tua-Muda
Halah, yang muda tidak punya pengalaman. Kurang makan asam garam. Berpikiran sempit. Tidak mampu menjaga emosi. Cenderung lebih mudah terbawa emosi. Keputusan Si Muda kecil kemungkinan bisa dipercaya.
Penjajahan Tua pada Si Muda terkadang terus saja terjadi. Dengar-dengar masih terjadi sampai sekarang.
d. Pintar-Bodoh
Nah, ini seringkali menjadi bagian dari kenyataan yang sangat gamblang ditemukan dalam keseharian. Mereka yang merasa lebih berpendidikan lebih memilih melihat dengan sekedar melirik pada orang-orang yang dirasakannya lebih bodoh. Tetapi untuk orang-orang bodoh seperti saya, dilirik sedikit saja sudah senang. Daripada tidak dilihat sama sekali toh?
Seperti itulah orang kampung melihat dan merenungkan alat. Duh, ternyata saya juga orang kampung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H