Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Harga Nol

26 Desember 2009   18:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:45 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_44031" align="alignleft" width="300" caption="Aku sudah tak bisa menghafal angka-angka (fickar09)"][/caption]

Pernah kukatakan pada bumi, aku tidak bisa memberinya puisi. Maka ia biarkan aku belajar mencaci maki. Ia menyebutkan, caci maki itu lebih indah daripada puisi ketika caci maki terlahir dari kejujuran. Lebih indah dari kelembutan yang muncul dari lorong-lorong dusta.

Mungkin karena kebingungan, aku menjadi bagian dari lelaki yang memilih Nol sebagai angka untuk disulap menjadi bidadari. Yang akan menemaniku menghabiskan malam. Mereka, entah siapa, karena memang wajahnya tak terlihat jelas, memintaku untuk mengambil angka-angka lain yang lebih besar. Aku masih bersikeras memilih untuk menjadikan angka nol itu saja disulap menjadi bidadari yang menemani gairah malamku. Pembunuh jenuh atas lakon yang hanya dimainkan siluet yang tak terlihat jelas dimataku. "Kau keras kepala...!!!" "Iya, aku keras kepala." "Kau batu...!!!" "Iya, aku batu." "Siapa kau?" "Sudah kuteriakkan dari atas semua bukit, aku batu dan akulah kesejatian batu." "Untuk apa engkau ada?" "Untuk pecahkan kepalamu yang terbuat dari tanah kering rapuh...!!!"

***

Terdengarkah oleh kalian derai tawa mereka yang bangga dengan semua angka yang telah mereka miliki. Padahal aku sudah teriakkan beribu kali, bahwa angka selain itu hanya serigala. Angka lain itu adalah drakula, angka-angka seterusnya adalah ular berbisa.

"Hanya dengan pilihan ini maka aku bisa menjamah dan mengelus semua lekuk indah perawan, saudaraku." Bujuk mereka.

"Kau pasti menyesal dengan semua kekeraskepalaanmu itu...!!!" Tukas yang lain.

"Kelak kau hanya menjadi musuh, terasing dan tidak dipedulikan oleh dunia." Ancam yang lainnya lagi.

"Kau hanya akan menjadi orang gila dengan semua pilihan kosongmu itu...!!!"

Aku coba menghela napas, pelan dan masih tetap perlahan. "Kosong itu bukan nol, dan nol bukan kosong." Sayang sekali, keramaian itu membuat aku tidak bisa berteriak keras lagi. Suaraku kalah didepan mereka.

"Kau putus asa, bukan?" Ujar yang pertama.

"Kau kecewa dan sebenarnya sudah tidak kuat mengayunkan langkahmu...!!!"

"Kau akan terus saja tertatih-tatih. Nanti pagi kau malah akan mati...!!!"

***

Seperti itulah perjalanan cinta yang enggan dipenjara angka. Jika engkau menyebut bahwa nol adalah juga angka, maka lihatlah ke langit-langit kamar. Disana, telah tertulis jelas, nol tidak sekedar dan sekaligus ia bukan kosong. Penegasan atas penglihatan itu adalah pilihan para pemberani, itu yang kuketahui dalam beberapa senja membongkar-bongkar nisan dari seribu abad lalu, saat sejarah sudah mulai tercatat.

Senja itu aku mencoba untuk tidak takluk dibawah pedang hierogliph, karena sejarah tak harus terbaca hanya dengan kata. Bukan sebuah luka, jikapun beberapa orang mengarahkan pandangan merendahkan, dengan menyebutku sebagai lelaki buta aksara.

Malam ini, aku bersetubuh dengan nol, mengeluarkan bulir-bulir keringat yang menjadi tongkat pemukul anjing. Lalu akupun menjadi anjing itu sendiri. Sesekali dengan mata berkaca, kubiarkan tongkat itu mengayun mengenai tulang punggungku. Kesetiaan tak harus ditanggalkan, meski tongkat itu masih tetap terayun seakan bernafsu meremukkan tulang-belulang. Kutepis semua ketakutan. Karena tulang-belulang inipun kelak akan menjadi sarapan pagi untuk cacing tanah. Atau mungkin akan menjadi sajian makan malam anjing lainnya yang sedang lapar, saat jasadku lupa dikuburkan.

Kesetiaan itu hanya untuk nol. Agar mereka tahu seperti apa harga nol itu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun