"Kau akan terus saja tertatih-tatih. Nanti pagi kau malah akan mati...!!!"
***
Seperti itulah perjalanan cinta yang enggan dipenjara angka. Jika engkau menyebut bahwa nol adalah juga angka, maka lihatlah ke langit-langit kamar. Disana, telah tertulis jelas, nol tidak sekedar dan sekaligus ia bukan kosong. Penegasan atas penglihatan itu adalah pilihan para pemberani, itu yang kuketahui dalam beberapa senja membongkar-bongkar nisan dari seribu abad lalu, saat sejarah sudah mulai tercatat.
Senja itu aku mencoba untuk tidak takluk dibawah pedang hierogliph, karena sejarah tak harus terbaca hanya dengan kata. Bukan sebuah luka, jikapun beberapa orang mengarahkan pandangan merendahkan, dengan menyebutku sebagai lelaki buta aksara.
Malam ini, aku bersetubuh dengan nol, mengeluarkan bulir-bulir keringat yang menjadi tongkat pemukul anjing. Lalu akupun menjadi anjing itu sendiri. Sesekali dengan mata berkaca, kubiarkan tongkat itu mengayun mengenai tulang punggungku. Kesetiaan tak harus ditanggalkan, meski tongkat itu masih tetap terayun seakan bernafsu meremukkan tulang-belulang. Kutepis semua ketakutan. Karena tulang-belulang inipun kelak akan menjadi sarapan pagi untuk cacing tanah. Atau mungkin akan menjadi sajian makan malam anjing lainnya yang sedang lapar, saat jasadku lupa dikuburkan.
Kesetiaan itu hanya untuk nol. Agar mereka tahu seperti apa harga nol itu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H