Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku Malang, Istriku Jalang

4 Mei 2010   11:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:25 1721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di rembang petang terkadang nasib membuat malaikat pun meradang serupa jalang.

***

Sampai Laila ke rumahnya dengan menyeret si Kecil Ramat yang menjerit dengan suara yang melengking menyayat hati itu. Di mulutnya keluar sumpah serapah yang ditujukan untuk si kecil,"bret mak kah, ka pikee sikin nyoe eik dipeugoet lee yah kah, (kemaluan ibumu! kiramu pisau ini bisa dibikin bapakmu?" Laila mengucapkan kalimat itu tanpa sadar, bahwa ibu si Ramat adalah dirinya sendiri juga. Ia juga tidak terpikir, pisau kecil itu memang tidak bisa dibikin Ayah si Ramat yang juga suaminya Laila, tetapi uang untuk belikan sikin itu adalah pemberian Hasan juga. Entah mungkin ia sudah begitu kalap dengan nasib atau karena apa, sulit dipahami.

Setelah mencampakkan Ramat di lantai tanah, tepat di tumpukan tahi itik yang terlihat masih baru dan basah. Ramat merasa semakin pilu, berharap ibunya masih memiliki kalbu. Tetapi tidak demikian dengan perempuan itu.

"Moe lajue, ku sak capli lam bah ngoen tungoe apui (Nangis terus, kusumpal mulutmu nanti dengan kayu bakar!)." Pekik Laila di samping kuping anak kecil ini. Tentu, si Kecil ini bukan berhenti menangis tetapi justru kian lengkingkan tangisnya, ungkapkan perih hatinya sebagai seorang anak kecil yang dinista ibunya sendiri. Lengkingan tangis yang bukan membuat ibunya iba, tetapi benar-benar makin kalap.

Di dapur, masih ada sisa kayu yang diujungnya masih tersisa bara yang lumayan panas. Karena Laila sering memasak dengan pergunakan kayu bakar saja dengan tungku terdiri dari 3 batu yang ditanam mirip nisan. Segera, tungku itu menjadi tujuannya. Diambilnya satu kayu bakar yang masih sedikit menyala, ditiupnya kembali untuk lebih terlihat baranya. Dibawa ke hadapan Ramat kecil.

"Diam! Kalau masih juga nangis, bukan lagi cabe, tapi kayee apui (kayu bara) ini kumasukkan dalam mulutmu!"

Tangis Ramat yang demikian semakin membuat Laila kalap. Semakin besar saja tangis si kecil ini. Geram, dipukulnya pantat Ramat yang sebenarnya terluka sebesar telapak tangan orang dewasa gara-gara diseret tadi. Spontan, Ramat kian besarkan suara tangisnya akibat kesakitan yang kian menjadi. Hampir saja Laila jejalkan kayu yang masih memiliki api diujungnya itu ke mulut Ramat. Untung cepat sadar perempuan  ini. Hanya saja, sadar dimaksud bukan menghentikan kekerasan terhadap anaknya yang sebenarnya masih sangat membutuhkan kasih sayang ini. Justru, dipikirannya teringat balsem yang kerap dipakai suaminya di dalam kamar.

Tak lama balsem itu sudah berada di tangannya. Diambilnya dengan telunjuk tangan yang memang sudah jauh dari kelembutan itu, diusap di kedua telapak tangannya sedang Ramat bersama tangisnya yang masih dengan volume melengking. Yap, balsem di kedua telapak tangannya diusapkan ke mata kecil Ramat. Beberapa saat suara Ramat lenyap. Bukan karena ia sudah berhenti menangis namun disebabkan sudah sedemikian keras ia keluarkan tangisnya sampai tidak menimbulkan suara. Miris, bagi yang punya hati pasti akan merasa teriris melihat 'bukti cinta' untuk anak ala Laila ini.

Ramat meronta karena kedua matanya terasa perih tapi tetap dengan tangis yang sudah tidak ada suara lagi. Terbanting-banting sendiri disebabkan panik oleh efek balsem yang disapu ibunya itu ke matanya. Anak kecil ini merasa begitu berat menanggung perihnya balsem yang mengenai kedua matanya itu.

Selang setengah jam, kecapaian menangis, Ramat kecil tergeletak tertidur atau pingsan, tidak jelas. Tapi masih kentara terlihat sisa isakannya. Sedang Laila sudah tidak peduli selain hanya mengeluarkan sumpah serapah yang bisa dipastikan bukan cuma karena pisau yang dibikin tumpul oleh Ramat, melainkan oleh luapan kemarahan yang terpendam terhadap Hasan, ayah Ramat yang juga suami Laila. Anak kecil yang dikandung dan dilahirkannya sendiri itu dibiarkan tergeletak di lantai tanah. Entah karena mengira ia sudah melahirkan anak itu, maka ia merasa enteng saja main siksa bocah kecil tidak berdaya itu. Wallaahu a'lam.

***

Jelang sore, Ramat terbangun persis sebelum ayahnya pulang. Saat itu juga Laila meminta ke anaknya

[caption id="attachment_133043" align="alignright" width="300" caption="Selalu ada celah untuk bunga tumbuh di jambangan yang salah"][/caption]

itu tidak ceritakan apa saja yang sudah dilakukan terhadapnya. Karena takut disiksa kembali, Ramat pun mengiyakan dengan anggukan pelan.

Hasan pulang. Kali ini Laila terlihat lebih ramah dalam menyambut kepulangan suaminya itu. Nasi sudah terhidang dengan kawan nasi berupa oen pakue (daun pakis) yang dimasak dengan minyak dan cabe lengkap dengan asam sunti (asam yang dibuat dari belimbing wuluh--Aceh: boh limeng). Menu makanan khas Aceh. Tak lupa secangkir kopi sudah terhidang di meja kecil segi empat yang diletakkan berdempetan dengan dinding kamar sisi belakang.

Sempat terbetik rasa heran di hati Hasan dengan sesuatu yang tidak lazim dari istrinya ini. Hanya karena memang Hasan tidak banyak bicara, maka ia juga nikmati saja semua yang terhidang itu. Si kecil, Ramat terlihat sedang mencongkel-congkel tanah tidak terlalu jauh dari Hasan makan. Sesuatu terasa mengganjal hatinya lagi."Pakoen aneuek kee leumah laen sang bak iduek, jaroe jih pih agak meubagoe deueh. (Kenapa anakku terlihat lain waktu duduk begitu, tangannya juga terlihat lain?)" Tanya Hasan pada diri sendiri.

Memang, Ramat duduk hanya dengan pantat sisi kirinya saja karena yang kanan terdapat luka. Tangan kanannya juga sakit karena tadi siang dihiela (ditarik-tarik) ibunya yang juga mengakibatkan pantat kanan sekaligus juga terluka, maka ia kesulitan untuk duduk dengan tenang.

Mencoba untuk tanyakan. Tetapi justru Laila yang menjawab,"tadi dia lari dengan anak-anak tetangga, sambil tarik-tarikan, sampai jatuh. Sampai pantatnya juga ikut luka." Meskipun telinganya mendengarkan penjelasan Laila, tetapi matanya mencoba melihat mata si Kecil, Ramat. Sesuatu ditemukannya di sana!

Ah, tetap saja Hasan tidak bisa pahami terlalu jauh makna mata dari bocah kecil seperti Ramat. Walau sorot matanya jelas sekali menunjukkan, bahwa ibunya hanya berdusta. Baru beberapa minggu kemudian masalah itu terang. Itupun Mak Teh sendiri yang beritahukan padanya. Dasar Mak Teh. Walaupun dekat dengan Laila, tetapi tetap saja tidak kenal dengan yang namanya rahasia. Sampai, pasangan muda itu kembali bertengkar saling maki. Sampai kedua orang tua Hasan yang sudah meninggal ikut dikata-katain Laila.

Hampir saja tangan Hasan terayun ke muka perempuan itu kalau bukan karena iba melihat anaknya, Ramat bergelayut di kakinya menangis. Jelas bocah kecil yang belum lewat 3 tahun itu tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya saling teriak dan saling maki, maka ia hanya bisa menangis saja meluapkan ketakutannya. Pasangan muda seperti Hasan dan Laila tidak pernah tahu pelajaran bahwa bertengkar antara suami istri tidak baik dilakukan di depan anak, maka mereka langsungkan saja warisan anjing dan kucing itu di depan anaknya.

***

Laila hamil lagi, walaupun akhir-akhir ini ia dengan Hasan makin kerap bertengkar. Ternyata semakin sering bertengkar semakin membuat mereka bersemangat untuk jalankan perannya sebagai pasangan suami istri yang memang masih seperti tungku yang dipenuhi bara api. Untuk pasangan demikian, di Aceh kerap diledek dengan hadih maja; karue-karue laju, aneuek pih leue laju (bertengkar semakin rajin, punya anak juga kian rajin).

Sedikit melewati sembilan bulan. Perempuan mungil keluar dari sela-sela paha Laila. Ia diberikan nama Jannah oleh teungku gampoeng (pemuka agama di desa). Nama itu dari Bahasa Arab yang berarti; Syurga. Kata teungku biar si kecil ini kelak bisa menjadi penghuni syurga dan ia bisa memberi syurga untuk kedua orangtuanya.

Kali ini Hasan sangat berbahagia. Lagipula, sepanjang proses kehamilan Laila. Lagi, tidak pernah terdengar kembali keterlibatan Laila dengan hal yang berhubungan dengan perselingkuhan. Maka dari itu lelaki ini kian bersuka cita. Tetapi cerita kebahagiaan itu juga tidak lama.

***

5 bulan sudah usia Jannah, sedang Ramat juga masih belum genap 5 tahun. Di depan rumah Laila, jalan gampoeng yang sebelumnya hanya berupa kerikil saja. Sekarang sedang dimulai untuk diaspal. Dalam kegiatan pengaspalan itu, kebanyakan yang bekerja adalah anak-anak muda. Kadangkala, mereka sering ke rumah Laila sekedar minta izin untuk ke sumur atau bahkan juga minta izin untuk minum.

Tetapi, apakah ini sebuah hukum pasti dalam ilmu kesalahan, selalu saja ada celah untuk tumbuhnya bunga di jambangan yang salah.

----------------

To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku

Sumber Gambar: di sini dan di sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun