Masih bisakah kita membedakan topeng dengan kulit wajah yang sebenarnya?
Kukira, negeri kita sedang mengalami persoalan kesulitan membedakan antara kulit wajah yang sebenarnya, dengan topeng yang semakin persis dengan wajah asli. Ketika seorang rekan menanyakan padaku, lantas bagaimana membedakan dua hal itu. Tidak berteori terlalu panjang, saya hanya katakan,"sentuh dan raba saja ke muka mereka. Pasti berbeda antara kulit asli dengan topeng itu." Tegasku
"Tetapi, topeng yang beredar di toko-toko di negeri kita ini, sudah dipenuhi dengan topeng yang mirip dan nyaris sama lho dengan kulit kita yang sebenarnya?"
"Kalau begitu, ya kenapa harus dipusingkan dengan hal itu, kita sendiri jangan pergunakan topeng-
topeng itu. Walau untuk keperluan apapun." Aku mencoba menggurui. Walau saya tahu, cara menggurui lazimnya sangat tidak disukai oleh siapapun, termasuk saya sendiri.
***
Peperangan masih terjadi di nusantara ini. Rakyat kecil melakukan perang versinya. Para istri yang saling jambak rambut dengan menuduh istri tetangga merebut suaminya. Anak-anak muda yang membunuh hanya sekedar persoalan pacar. Orang-orang desa yang juga saling sikut hanya untuk mendukung pemilihan Kepala Desa. Suami-istri yang pisah ranjang karena persoalan selisih paham, tentang menu apa yang harus terhidang di atas meja untuk makan malam.
Para suami, untuk kembali bisa merebut simpati istri lebih memilih mencari topeng-topeng Power Ranger, untuk terlihat kembali berwibawa. Tidak ada niat untuk mengelupas kulit wajah yang membusuk oleh dusta, dan membiarkan kulit kemurnian dan kejujuran tumbuh. Sedangkan istrinya lagi, bersedia membeli alat kosmetik termahal tetapi tidak tertarik untuk membeli buku-buku tentang inner beauty. Bedak-bedak melumuri wajah, hingga ketulusan pun tertutup. Seperti itu potret yang ada ditengah masyarakat 'biasa'. Sampai, yang remaja lebih mengizinkan otaknya untuk berpikir tentang merebut hati kekasih, daripada berpikir mengukir prestasi.
Sedangkan yang bermain sebagai politikus, entah karena terlalu disibukkan oleh persoalan besar, hingga ia lebih memilih untuk memakai topeng-topeng juga besar. Padahal, jangankan untuk bisa selesaikan masalah negara, untuk masalah rumah tangga saja takkan selesai. Jelas toh, topeng yang dikenakan terlalu besar hingga tak sempat melihat ekspresi istri yang pilu karena terlalu sering ditinggali. Tak punya waktu untuk melihat anak-anaknya, sudah sampai dimanakah perkembangan anak ini. Ketika mereka dewasa dan menjadi 'pemberontak', istri menjadi sasaran kemarahannya. Istri menjadi terdakwa, dalam tindak 'kriminal' kesalahan dalam pengasuhan. Sedangkan ilmu dan etika pernikahan tak pernah mengajarkan bahwa rumah tangga hanya milik istri.
***
Peperangan di negeri ini masih terjadi, memang. Namun, saya pribadi masih bersyukur bahwa masih adamasyarakatnya yang mau berperang dengan ksatria. Yang berani memperlihatkan diri apa adanya. Mereka berbicara apa adanya.
Walaupun seringkali orang-orang seperti ini tersingkir, tetapi saya selalu percaya kekuatan Tuhan. Kekuatan yang tidak pernah habis untuk menguatkan pribadi-pribadi yang masih menghargai ketulusan itu. Untuk tetap bisa melihat kekurangan diri sendiri, terus memperbaiki diri. Dan tetap peduli untuk membuang duri dari jalan-jalan yang akan ditapaki penerus negerinya. Kuperhatikan orang-orang seperti itu tidak terlalu banyak bicara. Tidak pernah menulis cita-cita untuk dicatat sebagai pahlawan, tetapi terus berkreasi dan berjuang sebagai seorang pahlawan.
Mereka, memang orang-orang pemalas. Orang yang malas untuk memakai topeng. Sayangnya orang-orang seperti ini lebih cepat mati di negeri seperti ini
Meulaboh,91109
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H