[caption id="attachment_331417" align="aligncenter" width="400" caption="Saat masyarakat memperlihatkan gelagat pesimisme terhadap partai berbasis massa Islam (Gbr: LiputanIslam.com)"][/caption]
Sebelumnya harus ditegaskan, yang dimaksudkan secara riil bukanlah partai Islam, melainkan partai yang kebetulan berbasis massa Islam. Kenapa? Karena naif menyebut partainya Islam yang notabene sebagai agama yang bersih, sementara korupsi hingga hal-hal cabul tak beda dengan partai tanpa embel-embel Islam. Melihat jelas hal itu penting, jika ingin menanyakan, bagaimana peluang partai yang membawa embel-embel Islam pada pemilihan presiden mendatang?
Layak untuk direnungkan, terlepas sekarang hasil Pemilu legislatif baru hanya quick count, tapi sudah terlihat partai tanpa embel-embel Islam terlihat jauh lebih mendominasi perolehan suara. Kecuali Partai Kebangkitan Bangsa saja di antaranya yang bisa berbusung dada, meraih suara mencapai 9,20 persen (data quick count Cyrus-CSIS). Partai Keadilan Sejahtera yang pada Pemilu lalu terbilang sudah sangat populer, justru tak beranjak melewati 10 persen.
Ini cukup mengisyaratkan, masyarakat pemilih di Indonesia tidak lagi termakan oleh dagangan partai yang membawa-bawa agama. Publik lebih melihat bagaimana prestasi suatu partai. Jika ada partai yang katakanlah banyak dosa, namun mereka mampu membarengi dengan banyak kontribusi menonjol, masih mampu memikat publik.
Berbeda dengan partai yang sesumbar sebagai partai berlandas Islam, namun hanya menjadikannya sebagai tameng menutup kebobrokan, maka indera penciuman masyarakat terhadap kebobrokan itu masih sangat tajam. Sedikitnya, hal ini berpengaruh kepada perolehan suara partai-partai itu.
Ini bukan persoalan bahwa publik tergiring oleh opini media yang dituding melakukan black campaign terhadap partai tertentu. Tudingan ini saya kira sama dengan menuduh masyarakat negeri ini menderita kebodohan teramat parah. Tapi menjadi adil, jika melihat fenomena itu lebih obyektif, bahwa masyarakat sudah melek informasi, mereke menyaring informasi, hingga kemudian mereka mengambil keputusan: partai mana yang layak dan tak layak untuk dipilih. Maka kemudian itulah yang menjadi hasil dari pemandangan tersebut.
Nah, sekarang terdapat PPP, PKS, PAN, PKB, dan PBB yang notabene merupakan partai-partai yang berbasis masa Islam, apa yang bisa mereka lakukan untuk bisa menghadirkan seorang calon presiden? Tentu, koalisi menjadi pilihan. Sebuah kekonyolan lain dari partai-partai yang berdagang di pasar yang sama dan dengan dagangan yang sama, namun berbicara koalisi.
Setidaknya itulah yang mengemuka belakangan, bahwa partai-partai berbasis massa Islam itu berkeinginan untuk berkoalisi.Seperti juga sempat diumbar oleh Wakil Ketua Umum PPP, Suharso Monoarfa, Sabtu (12/4).
Menurut Suharso, mereka memasang kriteria calon presiden yang akan mereka usung adalah figur yang netral. Itu salah satu kesimpulan yang diambil setelah pihak-pihak partai yang hanya mampu meraih suara di bawah 10 persen tersebut melakukan pembicaraan sesama mereka.
Gambaran yang telah diperlihatkan, calon yang akan mereka dukung adalah nama di luar Joko Widodo, Prabowo, dan Aburizal Bakrie. Meski hingga hari ini, nama konkret yang mereka maksudkan sama sekali belum muncul. Saya menduga, mereka sendiri masih mencari-carinya, meski menyebut telah mengantongi nama calon ini.
Siapa nama tersebut? Meski disebutkan netral, tapi nama-nama yang memiliki kedekatan dengan mereka hanya berkisar pada Hatta Rajasa, Yusril Ihza Mahendra, Mahfud MD, atau Hidayat Nurwahid. Apakah mungkin nama dimaksud adalah salah satu dari keempat nama itu? Tidak tertutup kemungkinan.
Hanya jika salah satu satu figur itu yang diusung, persoalan "marketable" tidaknya figur tersebut juga masih menyisakan pertanyaan. Jangkauan pengaruh figur-figur itu dan keterkenalan mereka, masih bisa diklaim hanya berkutat di beberapa lingkaran tertentu. Di luarnya, masih disangsikan.
Tapi, jika katakanlah dari keempatnya kemudian Hatta Rajasa atau Mahfud MD menjadi pilihan, karena alasan "sisi netral" lebih menonjol dari dua sosok ini, maka seberapa kuat ia mampu menancapkan pengaruh pada "will" masyarakat memilihnya akan menjadi pertanyaan lain.
Lagipula, jika katakanlah kolaborasi seluruh partai itu bertarung dengan mengusung calon tersebut, apakah publik yang di Pemilu legislatif memilih mereka akan juga memilih figur yang mereka angkat? Meragukan saya kira. Belum lagi persoalan bahwa sosok-sosok itu masih memiliki aroma lama. Sementara kecenderungan publik saat ini, terlihat menyimpan kehausan atas kehadiran satu figur baru.
Untuk figur baru ini, hal yang paling berpengaruh lebih kurang hanya berkutat pada seberapa menonjol prestasinya, atau paling tidak seberapa menjual dia.
Alasannya sederhana, secara planning, strategi, upaya meraup massa, lebih menonjol dilakukan partai-partai di luar mereka. Indikatornya, apa yang terjadi di pemlihan legislatif kental memperlihatkan itu.
Telanjang terlihat, dalam menciptakan figur yang sesuai atau mendekati bayangan masyarakat, sejauh ini hanya PDIP yang berhasil melakukannya. Sementara partai lainnya, katakanlah Golkar dan Demokrat sebagai rival mereka, lebih banyak membuka ruang di media sebagai partai yang bertarung dengan hal-hal kontraproduktif dengan siapa yang bakal mereka usung di Pilpres tahun ini.
Bukan tidak mungkin, salah-salah, suara pemilih mereka di Pemilu legislatif bisa saja lari ke kandidat capres diusung PDIP, misalnya.
Tentu, hal-hal ini saya kira sudah sangat diperhitungkan oleh partai-partai yang menggagas koalisi berdasarkan "warna baju" yang sama tersebut. Hanya, pertanyaan lainnya adalah apakah mereka akan mampu menjadi kubu koalisi yang solid? Ini menjadi pertanyaan, karena jangankan berharap rakyat percaya mereka, sesama mereka sendiri belum tentu saling percaya, bukan? (FOLLOW: @ZOELFICK)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H