Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Potensi dalam Militansi Pendukung Prabowo

12 Agustus 2014   08:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:46 1418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14077825351632747644

Sebaiknya sebesar apapun pendukung, tidak diajak melewati batas-batas yang ada (Gbr: KOMPAS.com)

Saat tenaga kian besar, maka kian besar pula beban yang bisa dipikul. Akan kian banyak hal yang bisa dilakukan. Sama halnya, kian besar tenaga, juga bisa kian besar pula masalah bisa didatangkan. Lalu, bagaimana korelasi analogi tersebut jika mengaitkan itu dengan pendukung Prabowo?

Bagi pendukungnya, Prabowo adalah sosok yang sangat dielu-elukan, bahkan cenderung sangat dipuja. Apa saja yang dikatakan oleh salah satu calon presiden di Pemilihan Presiden 2014 itu, akan diamini oleh mereka. Kekuatan pengaruh mantan Danjen Kopassus ini, bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Maka itu, di sini tersimpan kekuatan dan potensi yang sangat besar.

Kekuatan dan potensi yang dimiliki para pendukung Prabowo itu, bisa menjadi negatif sekaligus bisa menjadi positif. Sebagai pengikut, mereka hanya menunggu titah sosok yang diikuti, ke mana mereka harus berjalan, dan ke mana mereka menuju, dan apa yang bisa dibawa.

Ya, mereka bisa ke mana saja. Bisa mendaki puncak gunung tertinggi, agar bisa melihat keindahan dari ketinggian, atau bisa ke lembah terdalam, untuk terjun dan mati. Atau, meruntuhkan gunung yang ada? Juga tidak tertutup peluang. Dengan kekuatan besar, memang banyak hal bisa dilakukan.

Hanya saja, menyimak apa saja yang ditampilkan sebagian pendukung menantu Soeharto ini, tidak mudah untuk meyakini bahwa kekuatan itu sedang dibawa ke arah positif.

Apakah dugaan saya mengada-ada? Siapa saja berhak untuk menilai. Tapi, jika melihat bagaimana pergerakan dan aksi yang mereka lakukan, itu sudah memperlihatkan indikator, bahwa mereka telah digiring ke arah yang keliru. Mereka di bawa ke arah yang merugikan mereka sendiri. Mencoreng nama sendiri, dan bahkan sudah cenderung meresahkan.

Perintah menangkap ketua Komisi Pemilihan Umum, dan bahkan ancaman bunuh secara terang-terangan, ditunjukkan seakan tanpa beban. Jika begini, apa lagi hal positif yang bisa diharapkan bisa didatangkan oleh mereka? Bagaimana membedakan aksi tersebut dengan separatisme? Bukan hal yang mudah untuk disimpulkan.

Aksi-aksi itu, menjadi pelecehan lainnya yang telah mereka lakukan, setelah pelecehan sebelumnya semisal mengumbar tuduhan terhadap KPU, Bawaslu, hingga memberi stempel fasis dan komunis terhadap negara yang berdiri sejak 1945 ini. Padahal, persatuan yang dibangun di negara yang terdiri dari sekian banyak pulau ini, bukan hal mudah.

Untuk persatuan, pemerintah menempuh sangat banyak cara dan menghabiskan sangat banyak anggaran. Upaya meredam konflik dan ancaman atas keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, di Papua, Aceh, adalah bagian dari usaha untuk persatuan tersebut.

Siapa yang takkan miris, jika karena alasan tidak siap mental menerima kekalahan, lantas masyarakat dikerahkan untuk menebar ancaman, secara tersembunyi dan terang-terangan, dan melakukan hal-hal yang meresahkan.

Itu menjadi bagian dari kesalahan menggunakan kekuatan.

Saya mencoba membayangkan, jika masyarakat diberikan kebebasan untuk leluasa mencari nafkah dan bekerja. Tak perlu dilibatkan lagi dalam aksi-aksi semisal demonstrasi, karena ketidakpercayaan diri pihak yang sedang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Itu akan sangat positif tentunya.

Saat pengikut lebih diarahkan ke hal-hal yang lebih positif, ke arah yang lebih membangun, maka kekuatan tadi akan menambah tenaga negeri ini untuk melangkah ke depan saat sedang tertatih-tatih. Ibarat orang berjalan, kian banyak tenaga dimiliki, kian jauh jarak yang bisa ditempuh. Bayangkan jika tenaga besar itu justru menjadi penghalang bagi orang-orang yang sedang berjalan? Betapa banyak perjalanan harus terhenti.

Akan sangat elegan dan lebih dewasa, menurut hemat saya, jika pihak yang sedang menempuh proses hukum untuk mendapatkan keadilan, hanya membawa kalangan sendiri yang memiliki hubungan dan kepentingan langsung dengan itu. Sebab, jika mengajak masyarakat kecil untuk terlibat, dan mereka harus melupakan rutinitas mereka hanya untuk memperlihatkan bahwa mereka didukung banyak masyarakat, saya kira justru tidak adil. Maka, bagaimana berharap keadilan, jika dalam perjalanan menuju ke sana saja sudah mengawali dengan cara-cara tidak adil?

Jangan lupa, negeri ini sudah memiliki sangat banyak catatan yang mengundang trauma rakyat. Lihat saja bagaimana pada era 1960-an, mereka digiring untuk mengganyang orang-orang yang dinilai terlibat Partai Komunis Indonesia. Sebagian rakyat yang termakan propaganda, seketika menjadi beringas.

Saat itu, betapa banyak rakyat yang sebenarnya tak terlihat dengan gerakan PKI, justru menjadi korban. Petani yang secara kebetulan menerima hadiah cangkul saja dari partai itu, justru mengalami kenyataan ironis, tubuh merekapun dipacul oleh massa yang berubah beringas.

Banyak sungai di masa itu berubah merah, akibat amarah tak terbendung, darah tertumpah. Sementara, mereka yang marah itu, tak semua mengerti kenapa mereka harus marah dan kenapa harus menumpahkan marah. Tapi, propaganda massa akan selalu berpotensi melenyapkan akal sehat, untuk bisa berpikir dan bertanya kenapa sesuatu harus dilakukan.

Sama halnya ketika Orde Baru runtuh. Pada 1998, rakyat bertarung dengan sesama sendiri. Padahal mereka tak mengerti, kenapa mereka harus membunuh, membakar, dan merusak. Tapi kemudian pembunuhan tetap terjadi, pembakaran juga dilakukan, dan perusakan terjadi di mana-mana. Lagi-lagi karena mereka merasa didorong untuk mengeluarkan seluruh insting yang di luar kendali akal, yang lebih dekat kepada nafsu kebinatangan.

Maka di sini saya juga melihat hal membedakan antara pemimpin dengan masyarakat yang dewasa, dengan pemimpin dan pengikut yang belum bisa mendefinisikan kedewasaan secara tepat. Yang satu akan membimbing dirinya dan orang-orang di sekitarnya untuk mengarahkan diri ke hal-hal positif, ke hal-hal yang memiliki dampak manfaat lebih luas. Sedangkan sebaliknya, tanpa ada yang membimbing dan mengarahkan dengan tepat, tentu saja hanya akan cenderung melakukan hal-hal yang tidak tepat.

Terlalu besar risiko menjadikan massa sebagai mainan. Petasan kecil saja bisa membuat sebuah rumah besar terbakar, apalagi rakyat dalam jumlah besar.

Mudah-mudahan, di tengah pertarungan pasca-Pilpres 2014 ini, terlepas apapun kepentingan yang sedang diusung, tak ada yang menjadikan rakyat sebagai senjata merusak. Tidak menjadikan rakyat sebagai prajurit yang menghamburkan peluru ke segala arah. Melainkan mereka ditunjuk untuk diajak membangun "jembatan" lebih banyak demi perjalanan negeri ini ke titik tujuan lebih jauh. Bukan tujuan-tujuan jangka pendek saja. (TWITTER: @ZOELFICK)

Artikel Terkait: Meraba Pertarungan di Mahkamah Konstitusi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun