Itu menjadi bagian dari kesalahan menggunakan kekuatan.
Saya mencoba membayangkan, jika masyarakat diberikan kebebasan untuk leluasa mencari nafkah dan bekerja. Tak perlu dilibatkan lagi dalam aksi-aksi semisal demonstrasi, karena ketidakpercayaan diri pihak yang sedang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Itu akan sangat positif tentunya.
Saat pengikut lebih diarahkan ke hal-hal yang lebih positif, ke arah yang lebih membangun, maka kekuatan tadi akan menambah tenaga negeri ini untuk melangkah ke depan saat sedang tertatih-tatih. Ibarat orang berjalan, kian banyak tenaga dimiliki, kian jauh jarak yang bisa ditempuh. Bayangkan jika tenaga besar itu justru menjadi penghalang bagi orang-orang yang sedang berjalan? Betapa banyak perjalanan harus terhenti.
Akan sangat elegan dan lebih dewasa, menurut hemat saya, jika pihak yang sedang menempuh proses hukum untuk mendapatkan keadilan, hanya membawa kalangan sendiri yang memiliki hubungan dan kepentingan langsung dengan itu. Sebab, jika mengajak masyarakat kecil untuk terlibat, dan mereka harus melupakan rutinitas mereka hanya untuk memperlihatkan bahwa mereka didukung banyak masyarakat, saya kira justru tidak adil. Maka, bagaimana berharap keadilan, jika dalam perjalanan menuju ke sana saja sudah mengawali dengan cara-cara tidak adil?
Jangan lupa, negeri ini sudah memiliki sangat banyak catatan yang mengundang trauma rakyat. Lihat saja bagaimana pada era 1960-an, mereka digiring untuk mengganyang orang-orang yang dinilai terlibat Partai Komunis Indonesia. Sebagian rakyat yang termakan propaganda, seketika menjadi beringas.
Saat itu, betapa banyak rakyat yang sebenarnya tak terlihat dengan gerakan PKI, justru menjadi korban. Petani yang secara kebetulan menerima hadiah cangkul saja dari partai itu, justru mengalami kenyataan ironis, tubuh merekapun dipacul oleh massa yang berubah beringas.
Banyak sungai di masa itu berubah merah, akibat amarah tak terbendung, darah tertumpah. Sementara, mereka yang marah itu, tak semua mengerti kenapa mereka harus marah dan kenapa harus menumpahkan marah. Tapi, propaganda massa akan selalu berpotensi melenyapkan akal sehat, untuk bisa berpikir dan bertanya kenapa sesuatu harus dilakukan.
Sama halnya ketika Orde Baru runtuh. Pada 1998, rakyat bertarung dengan sesama sendiri. Padahal mereka tak mengerti, kenapa mereka harus membunuh, membakar, dan merusak. Tapi kemudian pembunuhan tetap terjadi, pembakaran juga dilakukan, dan perusakan terjadi di mana-mana. Lagi-lagi karena mereka merasa didorong untuk mengeluarkan seluruh insting yang di luar kendali akal, yang lebih dekat kepada nafsu kebinatangan.
Maka di sini saya juga melihat hal membedakan antara pemimpin dengan masyarakat yang dewasa, dengan pemimpin dan pengikut yang belum bisa mendefinisikan kedewasaan secara tepat. Yang satu akan membimbing dirinya dan orang-orang di sekitarnya untuk mengarahkan diri ke hal-hal positif, ke hal-hal yang memiliki dampak manfaat lebih luas. Sedangkan sebaliknya, tanpa ada yang membimbing dan mengarahkan dengan tepat, tentu saja hanya akan cenderung melakukan hal-hal yang tidak tepat.
Terlalu besar risiko menjadikan massa sebagai mainan. Petasan kecil saja bisa membuat sebuah rumah besar terbakar, apalagi rakyat dalam jumlah besar.
Mudah-mudahan, di tengah pertarungan pasca-Pilpres 2014 ini, terlepas apapun kepentingan yang sedang diusung, tak ada yang menjadikan rakyat sebagai senjata merusak. Tidak menjadikan rakyat sebagai prajurit yang menghamburkan peluru ke segala arah. Melainkan mereka ditunjuk untuk diajak membangun "jembatan" lebih banyak demi perjalanan negeri ini ke titik tujuan lebih jauh. Bukan tujuan-tujuan jangka pendek saja. (TWITTER: @ZOELFICK)