Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Skandal DIKTI: Ironi Kuliah di Luar Negeri

6 September 2014   10:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:28 10330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_357539" align="aligncenter" width="480" caption="Apakah DIKTI menepati janji? (Gbr: DosenTermarjinal)"][/caption]

Belajar di luar negeri, bagi sebagian kalangan terlihat sebagai mimpi indah. Hal itu juga dirasakan oleh seorang rekan saya, salah seorang dosen di daerah. Tak dinyana, nasib dirinya dan ribuan dosen yang menimba ilmu di Eropa dan beberapa belahan dunia lainnya, tidak lebih baik dari sebagian Tenaga Kerja Indonesia yang selama ini cenderung digambarkan paling menderita.

Ya, sebut saja nama rekan saya ini adalah Em. Saat masih sekampus dengan saya ketika masih sama-sama masih berjuang mengejar gelar sarjana, ia jauh lebih beruntung. Tidak saja ia berkesempatan untuk meraih gelar, melainkan ia juga berkesempatan untuk menempuh pendidikan hingga ke strata tertinggi, S3.

Pada saat S1 dan S2, ia nyaris tidak menemukan hambatan. Semua bisa dikatakan berjalan dengan mulus. Ia bisa menyelesaikan kedua jenjang pendidikan itu tepat pada waktunya. Petaka bagi dia justru pada saat ia sudah memilih profesi sebagai dosen. Lantaran ketika ia ingin lebih leluasa menempuh pendidikan teratas, justru ia berhadapan dengan dilema. Ia menjadi penerima beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI). Tapi justru di sini ia harus menghadapi fakta, ia harus tunduk pada peraturan ditetapkan pihak Dirjen tersebut.

Menurutnya, bukan sekali dua, ia dan rekan-rekannya dipaksa untuk menandatangani cek kosong hingga kontrak dengan klausul yang tidak jelas. Mereka harus berhadapan dengan pilihan, "Menerima aturan main DIKTI atau dipulangkan".

Sebagai intelektual, rekan dosen ini menyadari bahwa yang mereka hadapi adalah keculasan dan bahkan penjajahan atas intelektualitas yang telah susah payah mereka pupuk. Tapi, keadaan yang membuat mereka harus 'bergantung' kepada DIKTI, membuat mereka harus melawan jeritan hati kecil. Ya, dengan terpaksa menandatangani kontrak dan kwitansi apa saja yang diperintahkan untuk ditandatangani. Jika tidak, maka kesempatan meraih gelar tertinggi bisa saja dialihkan ke calon penerima lainnya.

"Mereka memiliki kekuasaan sangat besar, sehingga mereka tak merasa terbeban untuk menunjukkan sikap yang lebih menjurus ke sikap diktator di depan kami," ujar rekan ini, kepada saya, dalam sebuah obrolan baru-baru ini.

Saat saya menanyakan, apakah tidak ada upaya untuk melaporkan kasus ini ke pihak terkait, rekan ini mengaku dirinya tak rekan-rekannya tak memiliki organisasi yang bisa menjembatani ketika berhadapan dengan kasus seperti itu.

Sejauh ini, di antara para dosen yang mendapatkan beasiswa tersebut, baru terdapat satu orang saja yang berinisiatif menyampaikan laporan atas keculasan pihak DIKTI. Dosen ini menyampaikan masalah tersebut via UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan).

Hasilnya, pihak DIKTI dengan leluasa berkelit dari tuduhan itu. Dilansir salah seorang wartawan DETIK, Sukma Indah Permana, bahwa pihak DIKTI menyatakan, kabar dari dosen yang menyebutkan mereka kesulitan mencairkan dana beasiswa tak lebih sebagai hal mengada-ada.

Dirjen DIKTI, Djoko Santoso, kepada DETIK, menjelaskan tidak mungkin para dosen yang mendapatkan beasiswa belajar di luar negeri ini kesulitan mencarikan dana pendidikan. Ia berdalih, jika itu benar, maka sama artinya para dosen, sekaligus mahasiswa penerima beasiswa DIKTI itu bisa mati di luar negeri.

Djoko Santoso juga mengatakan, para mahasiswa tersebut memiliki forum komunikasi yang berisi tak kurang dari 3 ribu mahasiswa. Di forum itu, para mahasiswa ini kerap mendiskusikan apa saja yang terjadi dan berbagai masalah yang mereka hadapi.

Bahkan, menurutnya, baru-baru ini ia berkunjung ke luar negeri, bersua para mahasiswa Indonesia penerima beasiswa DIKTI, justru tak terjadi masalah apa-apa. "Wong saya ke luar negeri. Ketemu, mereka baik-baik saja kok," kata Djoko, seperti dilansir DETIK.COM. "Saya baru bertemu di Jepang, dan mereka baik-baik saja."

Lalu bagaimana dengan isi laporan yang dibantah Dirjen DIKTI itu?

Rekan saya yang juga penerima beasiswa DIKTI ini memberikan sebuah link, apa saja laporan yang disampaikan ke pihak UKP4 (selengkapnya di SINI). Di laporan tersebut, mahasiswa pelapor menyampaikan laporan tanpa menuliskan nama lengkapnya. Walaupun, saya pribadi menilai ini sebagai langkah keliru, tapi menyimak seperti apa "kediktatoran" ala DIKTI, saya mencoba mafhum. Sebab, perkiraan saya, ini memang tak ubahnya surat kaleng, berisi tapi tak bernama.

Sehingga saya konfirmasikan ke rekan saya tersebut. Apa saja konsekuensi jika mereka terbuka dan berterus terang? Artinya, jika sudah begitu, harus ada dari mereka yang bersedia pasang badan, menyampaikan persoalan tersebut ke publik agar terendus pihak terkait. Tapi ia memastikan, hal itu sangat mustahil dilakukan. Sebab sudah pasti takkan ada yang bersedia menanggung risiko dipecat dari penerima beasiswa itu.

Kembali berusaha memaklumi situasi yang membuat mereka terjepit, maju kena mundur kena, saya tegaskan saja, "Baiklah, saya bantu blow-up masalah ini, walaupun risiko dari kasus ini juga bisa menimpa saya."

Lantas saya coba telusuri persoalan apa saja yang sebenarnya terjadi dan dialami mereka. Berikut laporan tersebut--sekali lagi--tanpa nama lengkap pelapor.

(1) Komunikasi ke Pengelola Beasiswa di DIKTI tidak pernah memperoleh balasan, bahkan di forum komunikasi bersama di http://studi.dikti.go.id/forum, pengelola tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan. Ini keluhan mayoritas penerima Beasiswa LN Dikti diberbagai negara. Bisa dicek.

(2) Pada 20 Mei 2014, ada pengumuman dari Pengelola, agar kami melengkapi beberapa hal agar pencairan bisa dilakukan paling lambat sebelum lebaran 28 Juli 2014. Kami sudah melengkapinya, setelah itu tidak ada perkembangan informasi apapun. Dan hingga kini Beasiswa belum kami terima juga, dengan alasan yang tidak kami ketahui.

(3) Terakhir, pada 15 Agustus 2014, ada penjelasan dari Pengelola melalui forum online di atas "pencairan sedang diproses". Ketika saya bertanya, kapan diperkirakan akan cair, TIDAK ADA JAWABAN. Kami sudah terlambat membayar flat, air, listrik, gas, telepon selama 2 bulan. Kalau penagih datang, tidak mungkin kami bilang: "sedang diproses". Kami butuh tanggal jelas. Kenapa tidak bisa diperkirakan?

(4) Masalah-masalah seperti ini menjadi bahan pembicaraan di forum-forum internal penerima DIKTI di media sosial, tinggal menunggu waktu akan terhembus ke luar. Nama baik institusi perlu kita jaga bersama.

(5) Keterlambatan yang berulang-ulang setiap tahun (padahal sudah tahun ke-6 program ini) telah menjadi bahan pembicaraan para supervisor/profesor di tempat studi kami. Kampus saya saat ini tidak menerima kandidat baru dengan beasiswa DIKTI. Tahun ini, dua pendaftar ditolak. Ini bisa mencederai nama bangsa.

(6) Ada apa dengan pengelola Beasiswa LN DIKTI? Mohon jangan hanya menyelesaikan masalah per kasus, karena ini persoalan sistemik. SEMUA penerima Beasiswa DIKTI mengalaminya. Perbaiki sistem. Kalau perlu, alihkan ke lembaga/badan khusus.

Terlepas bahwa isi laporan itu sendiri tanpa adanya nama pelapor yang jelas, tapi setidaknya, ini sudah menunjukkan bahwa terdapat gelagat ketidakberesan di DIKTI. Walaupun dari sisi keakuratan dan fakta-fakta versi laporan ini masih perlu penelusuran lebih lanjut. Tapi paling tidak, saya kira, pihak terkait perlu melihat persoalan ini dengan serius.

Apalagi, jika kasus ini memang faktual, maka sebenarnya yang terjadi adalah penjajahan yang sangat besar. Apalagi penjajahan itu terjadi terhadap kalangan yang tak lain akan menjadi pendidik yang membantu lahirnya intelektual-intelektual masa depan. Jika mereka dijajah dan dipaksa untuk mengiyakan keculasan, sedangkan mereka tak memiliki ruang untuk berbicara leluasa, apakah bisa dipastikan fenomena ini takkan membawa dampak di masa depan?

Jangan lupa, banyak kasus adanya sebagian akademisi berbuat curang, bukan tak mungkin juga karena mereka diakrabkan dengan ketidakjujuran pada saat mereka harus memupuk ilmu ke level tertinggi dengan tradisi-tradisi berperadaban terendah. Baik terpaksa ataupun tidak. Jika ini terbiarkan, maka dosa masa depan berada di tangan pihak yang mendiamkan masalah-masalah seperti ini.

Mudah-mudahan, kasus ini mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait, tak terkecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika tidak, kehancuran dunia intelektual mengancam Indonesia. Jika sudah begitu, maka kehancuran manusia Indonesia hanya tinggal menunggu waktu. (Twitter: @ZOELFICK)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun