Alhasil, pihak kampusnya mengintenvensi kembali dengan mengirimkan dokumen secara kolektif. Lucunya, menurut dia, masih juga terjadi lagi kasus serupa. Bahwa pihak Dikti menyatakan tak pernah menerima dokumen dari kampusnya.
Iapun mengecam hal itu dengan nada menggugat, "Apakah kami harus menyalahkan TIKI, JNE, atau Fedex?"
Bahkan, lanjutnya, akhirnya pihak kampusnya memutuskan cara yang cenderung kuno di dunia administrasi, yaitu mengirimkan kurir khusus, mengutus beberapa orang untuk membawa seabrek dokumen milik Karyasiswa.
Nyatanya, cara itu juga tak juga berhasil.
"Saya sendiri, pernah mengirimkan dokumen--ke Dikti, tepatnya mengirimkan staf membawa dokumen itu, ditinggal di sana. Ditunggu tidak bulan tidak juga selesai. Saat kami menanyakannya ke Jakarta, mereka hanya menjawab; maaf dokumennya hilang."
Lebih jauh, ia juga membeberkan persoalan sistem online yang diterapkan pihak Dikti. Menurutnya, walaupun Karyasiswa sudah mengupload dokumen, tapi mereka masih juga diwajibkan mengirimkan hardcopy. Tak pelak, hal itu kian menyulitkan Karyasiswa dalam urusan dokumen.
Memang, menurut dia, pihak Dikti selama ini kerap mengirim staf mereka ke luar negeri dengan alasan evaluasi Karyasiswa sejak 2010. Tapi, sampai sekarang, pihaknya tak pernah melihat bahwa evaluasi dilakukan pihak Dikti mengimplementasikan hasil evaluasi tersebut.
Terakhir, ia menegaskan, pihaknya mendukung penuh upaya membongkar kekacauan beasiswa Dikti. Walaupun secara institusi, pihaknya tidak bisa melakukan upaya pembongkaran tersebut secara leluasa. (Twitter: @ZOELFICK)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H