Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Titik Terang Kasus DIKTI dan Efek Kompasiana

10 September 2014   10:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:08 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1410294034651306885

[caption id="attachment_358229" align="aligncenter" width="565" caption="Citizen Journalism tak selalu menjadi jurnalisme kelas dua - (Gbr: Journalistjan)"][/caption]

Niat baik akan selalu berdampak baik. Itulah yang saya yakini, sehingga akhirnya memutuskan menulis kasus DIKTI di Kompasiana. Walaupun saat seorang rekan saya yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Inggris mengeluhkan masalah itu, saya baru saja pulang dari tempat saya "nguli". Bahkan sudah lewat tengah malam, dan pikiran pun dalam kondisi "tidak terlalu segar". Hingga saya menuliskannya seraya terus berdiskusi, seraya terus menanyakan lebih rinci masalah dialaminya. Selesai saya tulis, publish, dan Kompasiana menunjukkan efeknya.

Ya, setelah kasus itu saya publikasi via Kompasiana, Twitter saya kebanjiran apresiasi dari para mahasiswa penerima. Layaknya bola salju, tanggapan demi tanggapan pun bermunculan. Tak berhenti di sana, beberapa media pun turut mengangkatnya kembali. Di antaranya adalah detik.com, merdeka.com, dan KOMPAS.com.

Walaupun, di tengah perjalanan itu, ada hal yang sempat mengganjal saya. Ya, ini terkait pihak detik.com yang hanya memilih mengutip identitas saya pribadi hanya berupa nama akun saya di Twitter (@zoelfick). Bahkan tidak menyebut Kompasiana yang notabene adalah sumber pertama saya membicarakan kasus tersebut. Etisnya, menurut hemat saya, Kompasiana tidak lagi dilihat sebagai "media kelas dua", hanya karena di sini lebih banyak penyandang status "Citizen Journalist". Toh, jika menyebut Kompasiana sebagai sumber, tak lantas berarti bahwa berita itu nantinya akan terlihat kurang berkelas, dan Citizen Journalist tak perlu distratakan di bawah jurnalis murni.

Namun, saya pribadi, di sisi lain sangat mengapresiasi kesediaan berbagai media tersebut untuk turut mengampanyekan kasus itu dan masalah yang sedang dihadapi oleh para mahasiswa strata-3 di luar negeri itu.

Lantaran, terlepas ada beberapa respons yang negatif yang juga sempat saya dapatkan, upaya campaign tersebut sudah mulai membuahkan hasil.

Rekan saya, narasumber pertama saya saat mengangkat polemik itu, menjelaskan hasil positif yang sudah mereka dapatkan, menyusul campaign yang saya lakukan lewat Kompasiana. Pertama, ia menyebut, pihak DIKTI sudah menyampaikan permintaan maaf lewat forum mereka. Dikatakan olehnya, ini adalah sesuatu yang benar-benar baru, karena tak pernah terjadi sebelumnya. Alih-alih berkomunikasi lewat forum itu, biasanya, sekian banyak pertanyaan atas berbagai masalah terkait beasiswa itu tak pernah ditanggapi pihak DIKTI.

Lebih menggembirakan lagi bagi saya adalah kabar lanjutan dari rekan saya ini, bahwa pihak DIKTI akhirnya merilis daftar pencairan dana beasiswa yang tertunda hingga berbulan-bulan itu.

Meski, masih berdasarkan kabar dari rekan saya, per Selasa (9/9), masih tersisa 412 mahasiswa lagi yang belum mendapatkannya. Pihak DIKTI, menurutnya, menjelaskan kendala atas mahasiswa yang tersisa--belum bisa dicairkan--itu karena adanya "progress report yang belum di-submit". Setidaknya, hemat saya, pihak terkait sudah menunjukkan iktikad baik di tengah keluhan ribuan para mahasiswa yang sempat dibuat terombang-ambing karena terbiarkan tanpa adanya kepastian.

Kegembiraan membuncah. Mendapatkan kabar ini, lagi-lagi sepulang dari tempat "nguli" lewat tengah malam, memberikan kelegaan besar di hati saya. Tak bermaksud mendramatisasi, terasakan keharuan, niat baik mengangkat kasus tersebut akhirnya menampakkan hasilnya.

Tapi, terlepas dari itu, di sinilah saya melihat lebih terang bagaimana efek media seperti Kompasiana. Bahwa, platform "Citizen Journalism" yang diangkat media ini bukanlah hal sederhana. Di sini tersimpan kekuatan, terutama untuk mem-blow up isu-isu penting.

Kasus terkait DIKTI, terlihat oleh saya sebagai isu penting, ini masalah kemanusiaan. Sebab, saya menerjemahkan masalah kemanusiaan tak melulu soal yang berkait dengan perang dan sejenisnya. Melainkan ini punya pengaruh terhadap masalah bagaimana manusia negeri ini di masa depan. Maka lewat netbook yang telah empat tahun menemani saya, kasus itu saya angkat berdasarkan kabar dari rekan saya tersebut. Kompasiana menunjukkan efeknya: masalah yang saya angkat menemui titik terang!

Apakah setelahnya saya merasa berjasa? Syukurlah, sejak pertama kali mengangkat isu ini, saya lebih dulu berdialog dengan diri sendiri, "Apa motivasi saya mengangkat ini?" dan secara tegas, kepada beberapa rekan yang mendiskusikan efek mengangkat kasus ini, saya katakan, "Jangan menjebak saya untuk merasa berjasa".

Saya lebih tertarik melihat sesuatu di balik kasus ini, dan itu adalah andil media seperti Kompasiana. Bahwa meski ber-platform "Citizen Journalism", Kompasiana telah menunjukkan kelebihan yang dimilikinya. Media ini mampu memberi manfaat dan dampak tidak sederhana.

Sehingga, saya membayangkan, ke depan, setiap kali terdapat kasus-kasus yang berhubungan dengan kepentingan publik, Kompasiana menjadi wadah untuk membicarakan kasus atau persoalan apa saja. Dengan begitu, peran yang diusung dunia jurnalisme untuk kemanusiaan dan kepentingan publik, tak lagi secara eksklusif milik mereka yang berprofesi sebagai jurnalis.

Lantaran fungsi media pun terbukti mampu diperlihatkan oleh Kompasiana. Bahkan, jika merujuk pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial: Kompasiana pun, sepanjang saya simak sejak 2009 bergabung di sini, memperlihatkan peran-peran itu.

Sebagai salah seorang yang berprofesi sebagai jurnalis, di sini saya merasakan sekali pentingnya Kompasiana. Kasus DIKTI adalah satu  dari sekian banyak bukti di Kompasiana, bagaimana media "Citizen Journalism" ini bisa menjadi saluran penting, tak terkecuali bagi jurnalis. Saya sendiri, jika hanya melihat media saya saja--salah satu media olahraga di Jakarta--sebagai saluran, tentu saja tak ada ruang untuk mengangkatnya lantaran jelas ini bukan kasus yang memiliki hubungan dengan dunia olahraga.

Akhirulkalam, saya menyimpan harapan besar, Kompasiana bisa dimanfaatkan untuk mengangkat masalah-masalah serius yang berkenaan dengan kepentingan publik, sehingga masalah serius itu tetap terlihat serius dan mendapatkan solusi serius. Di samping, jika sepakat bahwa hidup menjadi berharga hanya jika memberikan hal-hal berharga, Kompasiana adalah tempat tepat untuk memberi.  (Twitter: @ZOELFICK)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun