Ada kesan, apalah arti demokrasi jika itu hanya membuat rakyat kian berani dan bahkan menjadi lancang. Rakyat tidak lagi menghargai pejabat publik, dan tidak lagi menghormati pejabat negara.
Sepertinya para pejabat publik penganut pikiran seperti itu, berpikir bahwa sikap menghargai dan penghormatan dari rakyatnya akan diberikan secara gratis hanya karena kebetulan mereka sedang berkuasa. Mereka lupa, ada harga yang harus dibayar untuk penghargaan dari rakyatnya.
Untuk para pejabat yang hanya cerdas menjilat dan lupa mengenali seperti apa sikap merakyat, apa alasan bagi rakyat untuk mengakui mereka sebagai orang-orang terhormat? Tidak ada.
Toh, sederhana saja. Siapa saja dihormati, ya karena memang orang yang dihormati ini melakukan hal-hal terhormat. Para pejabat dihargai, bukan karena mahalnya harga yang harus mereka bayar untuk mendapatkan sebuah tempat di kekuasaan, melainkan sejauh mana berharganya tindakan-tindakan mereka di depan rakyat.
Para pemulung saja tahu, apa saja yang tidak berharga, memang tak pantas untuk dituntut untuk mendapatkan harga setinggi-tingginya. Entah penguasa itu memiliki kualitas pikiran di bawah pemulung, entahlah.
Tapi, lagi-lagi, fenomena tanda pagar itu memang menunjukkan hal-hal ironis seperti itu.
Di dunia jejaring sosial, pejabat yang seolah-olah saleh, tak bisa terkekeh-kekeh jika nekat bertindak aneh-aneh. Pertarungan sekaligus polemik soal RUU Pilkada sudah menunjukkan itu. Bahwa, rakyat bisa melawan, meski mereka menyuarakan perlawanan itu lewat Twitter seraya menghirup secangkir teh, tapi kuasa membuat pejabat tak lagi leluasa untuk terkekeh.