[caption id="attachment_362677" align="aligncenter" width="640" caption="Saat tanda pagar menjadi cara rakyat bersuara, setelah legislatif kian tak bisa dipercaya - Gbr: MemeTwitter"][/caption]
Selain demonstrasi di bawah terik matahari, berteriak-teriak hingga tenggorokan mengering, belakangan muncul demonstrasi bentuk baru, yang acap dikenal dengan "Tanda Pagar" atau "Hashtag" (#). Konon, demonstrasi di era digital ini mampu merisaukan penguasa, dan bahkan Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring, sempat terbetik pikiran untuk menutup Twitter di Indonesia.
Beberapa hari lalu, lewat Twitter pribadi saya, @zoelfick, sempat saya sergah salah satu twit menteri dari Partai Keadilan Sejahtera itu. Lantaran gerah dengan beberapa twit Pak Menteri ini yang menyinggung-nyinggung ide untuk menutup Twitter, karena melihat beberapa negara di bagian Arab, yang sebagian memang sedang dalam situasi kritis.
Dalam sergahan itu, lebih kurang saya katakan, jika memilih referensi untuk merencanakan sebuah kebijakan, maka referensi itu jangan melulu negara-negara yang memang sedang sarat masalah. Saya tambahi juga, bahwa penguasa di negara yang menutup jejaring sosial seperti Twitter, cenderung adalah penguasa yang ketakutan kepada rakyatnya sendiri.
Seperti biasa, twit saya itu hanya di-retweet oleh beberapa orang yang mungkin sependapat dengan saya, atau mungkin juga ingin melihat reaksi dari pengguna Twitter lainnya--hingga ia ikut-ikutan me-retweet cuitan saya itu.
Tapi, itu hanya catatan kecil dari betapa jejaring sosial itu menakutkan bagi sebagian orang, tak peduli yang berpangkat atau bahkan rakyat yang isi dapurnya pun sedang sekarat. Bahwa, di sanalah rakyat di negeri sebesar Indonesia merasa lebih merdeka untuk bersuara, untuk menyampaikan aspirasinya, kepada pejabat publik hingga sosialita.
Belum lama, tanda pagar atau hashtag #ShamedOnYou mencuat sebagai berita, menyusul merebaknya permainan salah satu koalisi berbadan besar di Dewan Perwakilan Rakyat yang masih bernostalgia dengan masa lalu. Merespons anggota legislatif yang kebetulan "memiliki pikiran terbelakang" dan kebijakan salah satu petinggi partai politik yang kini masih menjabat presiden negeri ini, hashtag itu muncul.
Dampaknya, tanda pagar lantas membuat para pejabat publik yang terusik dan mungkin berdebar-debar. Sehingga, sekelas menteri Kominfo, sempat terpikir untuk membentengi tuannya dan koalisi yang di sana terdapat partainya. Sehingga, berembus kabar, pihak Kominfo meminta pihak Twitter menghapus hashtag #ShamedOnYou. Walaupun kebijakan itu tak lantas membuat pengguna Twitter kehabisan akal, lantaran setelahnya bahkan muncul hashtag lain yang berbeda namun bermaksud kurang lebih sama; #ShamedByYou.
"Terkait fenomena hilangnya tanda pagar tersebut, belakangan memang memunculkan banyak spekulasi dan analisis para pakar. Misal saja, Nukman Luthfie, berada di antara yang berpendapat itu kemungkinan terjadi karena adanya algoritma trending topic di Twitter tidak hanya karena kuantitas dari kicauan tertentu. Atau, juga memang mungkin terjadi karena kian berkurangnya pengguna Twitter yang mencuitkan hashtag tersebut."
***