Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Histori Ekonomi dalam Logika Sepak Bola

9 Oktober 2014   13:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:46 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_365057" align="aligncenter" width="624" caption="Gbr: KOMPAS.com"][/caption]

Di tengah gonjang-ganjing politik, topik ekonomi cenderung tak terlalu dilirik. Setidaknya itulah yang saya simak, sepanjang memantau timeline jejaring sosial, baik facebook maupun twitter. Di mana-mana topik politik dirasa jauh lebih menarik, saat situasi ekonomi di banyak negara nyaris membuat banyak penguasa tak berkutik. Lalu, bagaimana kedua hal itu kemudian memang saling pengaruh-mempengaruhi?

Tak banyak yang melirik, Rabu (8/10), di Milan sedang berlangsung pertemuan para pucuk pimpinan negara-negara kawasan Euro. Italia, Prancis, Jerman, berada di antara negara Eropa yang hadir dalam pertemuan itu. Masalah yang dibincangkan lagi-lagi masalah "asap dapur" negara masing-masing.

Berita tersebut tak pelak membuat saya tercenung, betapa "urusan dapur" bukanlah masalah sederhana. Maka tak bisa hanya mengandalkan untuk menyikapinya secara sederhana.

Ya dalam pertemuan itu, Matteo Renci yang merupakan Perdana Menteri Italia mengemukakan rencananya mempromosikan undang-undang tenaga kerja yang baru dirampungkan. Sementara dari Prancis, Francois Hollande sebagai presiden negara itu mencetuskan idenya untuk melakukan ekspansi belanja negara.

Terdapat selisih pendapat antara para tokoh negara-negara Eropa itu, tak terkecuali dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel. Maklum, pihak Bank Sentral Eropa yang sudah memberikan kelonggaran dalam kebijakan keuangan di Eropa, tapi justru merasakan adanya semacam bumerang. Presiden Bank Sentral Eropa saja, Mario Draghi, tak bisa menghindari dirinya dari perasaan tertekan. Maka kemudian langkah yang diambil otoritas lembaga keuangan Eropa itu menyorot soal pasar tenaga kerja.

Ya, Presiden Bank Sentral Eropa mengajak para politisi untuk melonggarkan aturan di pasar tenaga kerja yang dinilai jauh dari fleksibel.

Dari sana juga saya menemukan fakta, bahwa sebanyak 18 negara yang bergabung dalam kawasan euro, masih sedang bertarung mati-matian memulihkan kondisi ekonomi akibat beban utang negara yang sangat tinggi seusai masa krisis yang mendera mereka. Apalagi telah jamak diketahui, pertumbuhan ekonomi di sana praktis terhenti, hingga inflasi berada di titik nadir per lima tahun terakhir.

Apa yang dilakukan Eropa menyikapi itu? KTT Milan adalah pertemuan yang mengulas secara mendalam tentang kondisi faktual tersebut. Tak berhenti di situ, tapi mereka pun membahas berbagai hal yang berhubungan dengan bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan, terutama yang disebut sebagai "Kawasan Euro". Persoalan pengangguran pemuda menjadi fokus. Lantaran terdapat fakta yang terkena dampak dan juga membawa dampak secara sekaligus pada ekonomi kawasan itu. Bahwa, tak kurang dari 21,6 persen pemuda kawasan tersebut dengan usia di bawah 25 tahun di seluruh Eropa terjerat oleh masalah pengangguran.

Lagi-lagi urusan ekonomi memaksa para petinggi negara-negara yang konon berada di jajaran "negara maju" itu gelisah.

Bagaimana Indonesia?

Salah satu pandangan masalah ekonomi yang sempat tayang di Harian Kompas, 21 Oktober 2013 lalu, milik  A Prasentyantoko yang melansir artikel bertajuk "Krisis Energi dan Gejolak Ekonomi". Dalam tulisannya itu, ia menyorot pemerintah dan otoritas keuangan negara yang dirasakan olehnya tak memiliki banyak pilihan. Prasentyantoko menyebutkan, bahwa baik pemerintah dan ototitas moneter terkesan hanya menghadapi gejolak perekonomian seperti menaikkan BI Rate, memperlambat kredit, dan menaikkan pajak.

Tapi kritikan pengajar di Unika Atmajaya Jakarta itu berdasarkan kompleksitas masalah yang terjadi pada tahun lalu. Meski begitu, menyimak perkembangan dunia ekonomi terkini di Indonesia, sedikitnya memang masih terdapat keserupaan masalah yang belum benar-benar terselesaikan hingga kini.

Maksudnya, menilik ulang artikel tersebut, Prasentyantoko pun tidak menafikan dinamika di level global, tapi ia juga mengajak untuk melihat berbagai hal yang berada di level domestik yang dinilai olehnya masih bisa dipengaruhi--saya bahasakan--dengan "tangan kita sendiri". Artinya, silakan membuka mata atas dinamika global, tapi tidak menutup mata dengan masalah domestik.

Menyimak dialektika yang disajikan akademisi kampus ternama di Jakarta itu--terlepas bertema energi--ada pergulatan masalah yang disebutnya sebagai ketimpangan antar daerah. Kegelisahannya tak jauh-jauh dari dua hal: pertama, karena terhambatnya produktivitas, kedua adalah daya saing ekonomi domestik.

Mengaitkan opini Harian Kompas itu dengan KTT Milan yang baru saja berlangsung, ada satu benang merah yang mencuat yaitu "membangun kekuatan" dari daerah. Sebab, mengutip Prasentyantoko, menafikan hal-hal itu, akan membawa dampak yang membuat Indonesia termajinalisasi dari ekonomi global, sedangkan di sisi lain akan memunculkan fragmentasi di dalam negeri.

Yang Bisa Dilakukan?

Jika mengiyakan bahwa yang harus diprioritaskan adalah dari level domestik, maka di sana--dalam hemat saya--ada banyak hal yang bisa dilakukan. Apabila persoalan yang ingin dijawab adalah bagaimana menjaga stabilitas sistem keuangan.

Merujuk ke kasus gejolak yang terjadi pada 1998, ada banyak rekomendasi yang dimunculkan, beberapa di antaranya dimuat di Harian Kompas. Misal saja, dalam hal penyelesaian masalah dalam politik. Di sini, terlepas Direktur Bank Indonesia, Agus D.W Martowardojo, sempat meminta untuk tidak menyamakan masalah sekarang dengan dinamika 1998, tapi paling tidak memang ada keserupaan di sisi ini.

Misal saja, bagaimana ketika polemik yang sempat muncul pasca-Pilpres, sempat membawa pengaruh pada minat investor dan dinamika di pasar saham. Lalu hal itu terjadi lagi ketika sempat muncul riak dalam pemilihan Ketua DPR hingga MPR.

Kembali ke kasus 1998, jika merujuk Laksamana Sukardi dalam menyimak perkembangan saat itu, memang kondisi ekonomi Indonesia dinilai olehnya berada di persimpangan antara kemungkinan terjadinya recovery dan kehancuran. Saat itu, investor cenderung menyimak peta politik hingga fenomena apa yang terjadi di Pemilu.

Tidak itu saja, pada 1999, setahun setelahnya, banyak pengusaha nasional yang memang kemudian memutuskan untuk lebih membidik pasar luar negeri. Inisiatif yang lebih karena alasan untuk menyiasati berbagai kemungkinan yang terjadi di dalam negeri.

Pada saat itu, kecemasan yang juga sempat mencuat adalah jika aspirasi rakyat dalam politik terkesampingkan. Itu dinilai akan menjadi penghambat. Sedikitnya hal itu memang kemudian terbukti, situasi ekonomi sulit diprediksi, dan banyak pihak cenderung cari aman. Maklum pemandangan yang terjadi pada 17 Juni 1998, sedikitnya membuat banyak pihak dilanda was-was, tidak saja pengusaha tapi juga rakyat jelata. Lantaran fakta ketika itu memang rupiah sempat menukik hingga Rp 17.000 per dollar AS.

Ada hal-hal yang sempat kian memperparah keadaan saat itu lantaran banyaknya manuver politik yang terjadi. Lagi-lagi hal ini tak jauh berbeda dengan yang terjadi sekarang.

Maka itu, satu hal yang tak bisa dipandang remeh dalam hemat saya--mengambil analogi sepak bola--tak ada lagi lini belakang yang seharusnya menjaga gawang, tapi justru gegabah melakukan gol bunuh diri.

Artinya, masalah yang berhubungan dengan potensi-potensi yang berhubungan dengan stabilitas keuangan dan ekonomi, tak hanya dipundakkan pada Bank Indonesia, yang saya ibaratkan sebagai penjaga gawang. Melainkan bagaimana antara lini tengah dan lini depan bisa berkoordinasi dengan baik.

Hanya berharap suporter (baca: masyarakat) akan baik-baik saja dengan apa saja yang terjadi, terasa naif. Bolehlah "suporter" tidak sampai membuat kerusuhan dan aksi-aksi anarki. Tapi yang menjadi penentu, tetap saja pada siapa yang menjadi pemilik klub dalam melahirkan kebijakan, pelatih dalam menentukan strategi dan menentukan skuat, hingga kontribusi semua lini dalam susunan pemain. Jika hal-hal itu ternafikan, maka tak ada cara bagi suporter bisa tersenyum saat timnya melulu didera kekalahan, terdegradasi, dan kehilangan reputasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun