Pada saat itu, kecemasan yang juga sempat mencuat adalah jika aspirasi rakyat dalam politik terkesampingkan. Itu dinilai akan menjadi penghambat. Sedikitnya hal itu memang kemudian terbukti, situasi ekonomi sulit diprediksi, dan banyak pihak cenderung cari aman. Maklum pemandangan yang terjadi pada 17 Juni 1998, sedikitnya membuat banyak pihak dilanda was-was, tidak saja pengusaha tapi juga rakyat jelata. Lantaran fakta ketika itu memang rupiah sempat menukik hingga Rp 17.000 per dollar AS.
Ada hal-hal yang sempat kian memperparah keadaan saat itu lantaran banyaknya manuver politik yang terjadi. Lagi-lagi hal ini tak jauh berbeda dengan yang terjadi sekarang.
Maka itu, satu hal yang tak bisa dipandang remeh dalam hemat saya--mengambil analogi sepak bola--tak ada lagi lini belakang yang seharusnya menjaga gawang, tapi justru gegabah melakukan gol bunuh diri.
Artinya, masalah yang berhubungan dengan potensi-potensi yang berhubungan dengan stabilitas keuangan dan ekonomi, tak hanya dipundakkan pada Bank Indonesia, yang saya ibaratkan sebagai penjaga gawang. Melainkan bagaimana antara lini tengah dan lini depan bisa berkoordinasi dengan baik.
Hanya berharap suporter (baca: masyarakat) akan baik-baik saja dengan apa saja yang terjadi, terasa naif. Bolehlah "suporter" tidak sampai membuat kerusuhan dan aksi-aksi anarki. Tapi yang menjadi penentu, tetap saja pada siapa yang menjadi pemilik klub dalam melahirkan kebijakan, pelatih dalam menentukan strategi dan menentukan skuat, hingga kontribusi semua lini dalam susunan pemain. Jika hal-hal itu ternafikan, maka tak ada cara bagi suporter bisa tersenyum saat timnya melulu didera kekalahan, terdegradasi, dan kehilangan reputasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H