Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Membedah Fenomena @PartaiSocmed

15 Oktober 2014   11:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:57 3123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1413323096587432596

[caption id="attachment_366495" align="aligncenter" width="560" caption="GBR: Kaskus"][/caption]

Bagi para pengguna Twitter, terutama yang memiliki minat terhadap diskusi politik, tak asing lagi dengan keberadaan salah satu akun, @PartaiSocmed. Akun ini memiliki follower mencapai angka 71 ribu lebih, satu jumlah yang tidak kecil.  Yusril Ihza Mahendra, Wimar Witoelar, Tamrin Tomagola, Saiful Mujani, adalah sebagian dari tokoh nasional yang juga menjadi follower akun tersebut. Siapa mereka? Apa saja yang mereka lakukan?

Ya, akun tersebut kerap menayangkan cuitan yang berisikan berbagai persoalan politik. Tak jarang, mereka juga terlibat ke dalam berbagai perdebatan panas, meski acap kali mereka juga tampil sangat bersahabat. Satu hal paling menonjol, akun tersebut sekalipun bisa dikategorikan anonim namun terlihat memiliki garis tersendiri.

Mereka terlihat terorganisasi, dan cenderung hati-hati dalam mengangkat berbagai isu politik. Baik yang berhubungan dengan pejabat tertentu, atau bahkan dengan beberapa tokoh di level daerah dan nasional. Hingga kemudian saya mendapati, via cuitan di akun ini, mereka berterus terang sebagai pendukung Joko Widodo sejak sosok ini belum menjadi presiden terpilih Indonesia.

Menariknya, ada satu prinsip yang juga mereka tegaskan, mengikuti pengakuan mereka sebagai pendukung Jokowi, bahwa memberi dukungan tak berarti menghilangkan sikap kritis dan itu menjadi "garis api" bagi mereka.

Hingga akhirnya saya mengontak akun itu via Direct Message yang terdapat di Twitter, setelah di antara 71 ribu follower lebih yang mereka miliki, saya menjadi salah satu yang di-follow mereka. Saya menanyakan beberapa hal tentang mereka, karena meski beberapa cuitan saya juga di-retweet oleh akun tersebut, secara personal saya tidak mengenal mereka.

Di antara pertanyaan saya, siapa saja figur yang berada di balik akun ini, bagaimana mekanisme "gerakan" mereka, dan beberapa lainnya. Mereka juga memberikan jawaban yang terbilang sangat cepat.

Senada dengan kesimpulan saya atas akun ini sepanjang menyimak cuitannya, mengusung platform sebagai "Partai Social Media", mereka mengklaim bergerak hanya untuk menjadi media pembelajaran politik.  Selain juga mereka berterus terang--via cuitan--memberikan dukungan kepada salah satu calon presiden pada Pilpres 2014 ini, ditegaskan mereka adalah pilihan yang sejalan dengan misi mereka.

Seperti juga dituliskan di profil akun ini, mereka menyebut identitas sebagai, "Social Media Party," dan mengusung konsep, "Objectivity, Fairness, and Justice for All." Selain juga, berisi penegasan bahwa mereka adalah "Non populis party", sekaligus "Common sense party" dan "Empowering people".

Selama ini, sebelum diskusi via DM, saya pribadi memang menemukan bahwa akun tersebut cenderung membuka diskusi dengan para follower yang terlihat cenderung berisikan pencerahan kepada publik. Sejalan dengan prinsip "empowering people" di akun mereka, apa-apa yang diangkat memang terlihat terarah untuk penguatan publik.

Terlepas beberapa kali, dari yang saya simak, mereka mendapatkan serangan berupa cuitan-cuitan yang bernada menghina dan terkesan menjatuhkan, tapi mereka sejauh ini--saat tulisan ini diturunkan, mereka sudah memiliki cuitan mencapai 139 ribu cuitan--terlihat tidak terseret ke dalam pusaran diskusi yang menjurus perdebatan tidak sehat.

Jika dikatakan bahwa mereka juga terlibat dalam beberapa diskusi panas yang cenderung keras, memang ada, tapi mereka bisa bertahan untuk tidak terprovokasi. Mereka terlihat tidak sungkan untuk menghentikan sebuah diskusi dengan beberapa akun yang mereka nilai sudah keluar dari jalur. Bahkan tak jarang, mereka juga memberikan teguran kepada pengguna Twitter yang melibatkan diri dalam satu diskusi dengan hanya merujuk pada rumor atau tanpa landasan fakta.

Maka itu, saya pribadi menilai keberadaan akun ini tak keliru disebut sebagai fenomena forum diskusi dengan format yang tidak mainstream. Selain juga mereka secara meyakinkan menunjukkan di beberapa cuitan bahwa tak ada hal yang lebih mereka buru, selain keberadaan mereka benar-benar bisa membawa manfaat dan pencerahan kepada publik lewat Twitter.

Sikap dan garis politik yang mereka ambil bukan tanpa risiko. Dari penelusuran yang saya lakukan, bahkan akun tersebut pernah nyaris berurusan dengan hukum karena kegiatan mereka via sosial media. Misal saja per 26 Mei lalu, kuasa hukum capres yang kalah Pilpres 2014, sempat mengadukan akun tersebut ke pihak Bawaslu. Lantaran dinilai @PartaiSocmed berupaya menjegal pencapresan salah satu bakal calon itu.

Sementara pihak akun ini membeberkan berbagai hal seputar capres kalah tersebut lantaran terlihat oleh mereka terdapat indikasi bahwa ada jejak hitam capres itu yang ingin ditutup-tutupi. Namun saat mereka berusaha memberikan pencerahan kepada publik, justru dituding sebagai upaya penjegalan dan dituduh menyebar fitnah.

Artinya, kekuatan para aktivis di ranah jejaring sosial itu, sedikitnya juga membuat lawan-lawan politik mereka bahkan gentar. Namun lagi-lagi, berdasarkan pantauan saya pribadi terhadap akun ini, pihak penyerang aktivis akun tersebut acap kali adalah pihak-pihak yang cenderung berupaya melakukan pembodohan publik. Tentu saja, sejalan dengan prinsipnya, pihak @PartaiSocmed yang berlandas prinsip penguatan masyarakat menunjukkan perlawanan dengan cara mereka.

Lalu, siapa mereka?

Saat diskusi via DM, mereka mengakui kepada saya, bahwa secara pribadi mereka memang sudah memutuskan untuk tidak membuka diri kepada publik. "Kami tetap akan menjadi akun anonim," begitu mereka memberikan penegasan.

Diakui juga, karena dukungan yang selama ini mereka berikan kepada sosok Jokowi, mereka mendapatkan undangan untuk bisa bertemu dengan presiden terpilih tersebut. Bagi sebagian pihak "yang merasa berjasa", mungkin akan menerima undangan itu sebagai sebuah kehormatan. Tapi bagi para aktivis di balik akun tersebut lagi-lagi menegaskan, bahwa mereka menolak undangan tersebut!

Mereka menunjukkan konsistensi melakukan pekerjaan yang berbau politik dengan membawa pencerahan kepada publik, namun mampu membebaskan diri dari "mencari pamrih", bagi saya merupakan sebuah karakter yang sangat matang. Tercermin dalam salah satu cuitan mereka pada 23 Agustus lalu, "Kami adalah relawan Jokowi-JK, tapi kami tidak ingin lebih diistimewakan dari pendukung Prabowo-Hatta!" Sebuah prinsip yang sangat tegas, bahwa keberpihakan tak selalu dilakukan karena alasan kompensasi sesaat.

Apalagi di sebuah masa ketika "tak ada makan siang gratis" telah begitu membudaya, para aktivis di balik akun tersebut masih mampu memilih untuk fokus kepada misi besar mereka, "empowering people". Bukan pilihan mudah.

Sebagai akun yang bersifat relawan, mereka bukanlah kalangan aktivis atau relawan yang berangkat dari doktrin yang mematikan nalar. Mereka masih mempertahankan sikap kritis, bahkan terhadap Jokowi yang mereka dukung pun mereka menunjukkan karakter sekaligus prinsip relawan yang memiliki sikap.

Misal saja, ketika Jokowi sempat mengajukan permintaan menyusul kepastian kemenangannya di Pilpres, agar semua relawan tidak bubar, tapi bisa menjadi bagian dari timnya dalam menjalani pemerintahannya. Paling tidak agar ia dibantu untuk bisa mengontrol jajaran pejabatnya.

Apakah aktivis jejaring sosial yang berpayung di @PartaiSocmed mengiyakan begitu saja? Lagi-lagi mereka menunjukkan karakter tegas, "Jujur saja kami agak terkejut dgn statement Jokowi yg meminta relawan tidak bubar dan menjadi mata dan telinganya," bunyi salah satu tanggapan mereka via cuitan. "Karena ini jelas sudah menyalahi makna dari kata "relawan" itu sendiri. Menjadi relawan bukanlah profesi atau jabatan politik apapun!"

Dalam pernyataan sikap mereka terkait ajakan Jokowi tersebut, mereka menilai itu justru akan menimbulkan kekacauan tersendiri. Akan timbul ketidaknyamanan di kalangan pegawai pemerintahan

"Alih-alih akan melahirkan sistem kontrol yang baik. Model memanfaatkan relawan sbg mata-mata ini justru akan melahirkan penyelewengan-penyelewengan baru. Yang harusnya dilakukan Jokowi adalah merombak sistem agar lebih efektif, efisien dan transparan. Bukan mengoptimalkan peran relawan sebagai mata-mata!" bunyi cuit lainnya di hari yang sama, (23/8).

Sikap-sikap kritis demikian masih terus dipertahankan oleh @PartaiSocmed. Meski terkadang harus menghadapi cacian dari "kalangan sendiri", tapi para aktivis yang enggan unjuk diri secara personal itu, memilih fokus pada misi mereka. Lewat karakter itu, mereka tidak menggurui, tapi menunjukkan bahwa sumbangsih yang sebenarnya jika di sana tidak terdapat pamrih, dan mereka membuktikan itu. (Twitter: @zoelfick)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun