Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dalam Ancaman Gejolak Dua Daerah

21 Oktober 2014   11:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:18 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14138405481038636647

[caption id="attachment_367994" align="aligncenter" width="700" caption="Persoalan gejolak daerah telah terjadi sepanjang usia negeri ini (Gbr: ciputranews)"][/caption]

Di antara daerah yang masih bisa dipastikan paling rentan dengan konflik dalam relasi dengan pemerintah pusat hanya dua, Aceh dan Papua. Jika di Aceh pernah terdapat Gerakan Aceh Merdeka yang bubar seiring perjanjian damai di Helsinki pada 2005, sementara di Papua masih terdapat Organisasi Papua Merdeka. Lalu, akan bagaimana cerita selanjutnya dua daerah itu di bawah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla? Juga akan seperti apa perkembangan dua kawasan terujung Indonesia itu sendiri bersama pemerintahan baru ini?

Pertama soal Aceh, dalam hemat saya tercapainya perjanjian Helsinki saat Jusuf Kalla masih berduet dengan Susilo Bambang Yudhoyono belum tuntas. Masih banyak riak yang muncul secara silih berganti di sana. Berbagai perdebatan yang rentan menjadi sumbu konflik, juga masih kerap terlihat.

Hal itu juga tak lepas dari soal UU Pemerintahan Aceh dan berbagai polemik yang berada di lingkaran persoalan ini. Di Aceh masih riuh dengan topik ini. Masih ada perbedaan sudut pandang antara apa yang selama ini diperlihatkan pemerintah pusat dengan tafsir yang digunakan oleh sementara pihak di Aceh.

Misal saja, soal bendera Aceh, hingga saat tulisan ini saya tulis, masih menjadi isu yang paling menonjol di daerah yang berada di ujung Sumatra itu.

Masalah tersebut sudah digemakan kembali oleh Pemerintah Aceh yang notabene berasal dari eks GAM hingga menjelang SBY  menghabiskan periode kedua kepemimpinannya. Agustus lalu, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah sempat mengajukan lagi kepada SBY untuk penyelesaian masalah ini. Bahkan tak kurang dari sepuluh pertemuan sudah dilakukan, sama sekali tak membuahkan hasil.

Pemerintah Pusat di masa SBY menolak hal itu lantaran menilai bendera tersebut mirip dengan bendera yang pernah menjadi simbol GAM sendiri. Terlepas bahwa DPR Aceh sudah menyetujui bendera itu pada Maret tahun lalu. Tapi bagaimana solusi setelah penolakan itu, cenderung mengambang begitu saja.

Ya, katakanlah pemerintah pusat juga menunjukkan iktikad baik--di masa SBY. Paling tidak, sudah pernah terbentuk tim bersama untuk membicarakan masalah ini pada 2013 lalu. Lantaran, dalam Undang-Undang Nomor 11 2006, yang dikenal dengan UU Pemerintahan Aceh, bahwa semua aturan turunan harus diselesaikan. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan itu,  berisi soal kewenangan pemerintah secara nasional di Aceh, di antaranya.Selain juga masalah yang berhubungan dengan pengelolaan bersama minyak dan gas bumi di wilayah yang menjadi wewenang Aceh. Juga beberapa lainnya yang berkaitan dengan masalah pengalihan kantor wilayah badan pertanahan nasional di Aceh.

Khusus terkait dengan Perda (Aceh: Qanun) pemerintah pusat hanya menyodorkan PP Nomor 77 Tahun 2007 Pasal 6 Ayat 4, bahwa desain logo dan bendera daerah tidak dibolehkan memiliki kesamaan dengan desain logo bendera organisasi terlarang atau separatis.

Tidak berhenti di situ, RPP Migas yang memiliki hubungan dengan masalah bagi hasil antara pusat dan daerah pun belum mendapatkan kesepakatan. Pusat memaksakan kehendak agar Pemerintah Aceh diperkenankan mengelola minyak hingga 12 mil. Di sini Pemerintah Aceh menuntut hingga 200 mil.

Kemudian dalam masalah pertanahan, Aceh meminta lebih dari sekadar hak guna bangunan dan hak guna usaha. Hal itu pernah diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri di bawah pemerintahan SBY, Gamawan Fauzi. Menteri ini juga mengaku sudah pernah menyampaikannya ke presiden, dan presiden yang akan memutuskan.

Lalu apa kabar?

SBY sudah mengucapkan perpisahan, tongkat pemerintahan sudah beralih ke Joko Widodo. Sementara masalah itu sama sekali belumlah tuntas.

Di sini Jokowi pun masih harus memikirkan gejolak yang juga terjadi di Papua. Maklum OPM sendiri telah berdiri sejak 1965. Berbeda dengan GAM, OPM sejauh ini cenderung menolak berkompromi. Mereka masih terus bergerak. Mereka cenderung bersikukuh mengikuti pesan dalam "lagu kebangsaan" yang juga sangat dihafal oleh anggota mereka, "Hai tanahku Papua, Kau tanah lahirku, Ku kasih akan dikau, sehingga ajalku."

Perspektif yang masih dipegang pihak OPM hingga kini tak lebih, eksistensi pemerintah pusat di tanah Papua tak lebih dari pendudukan militer saja. Mereka masih menafikan Penentuan Pendapat Rakyat atau yang dikenal dengan Pepera pada 1969.

Jangan lupa, kedua organisasi ini masih memiliki keterikatan. Lantaran di masa lalu terdapat semacam ikatan persaudaraan yang terjalin antara Muhammad Hasan Tiro di Aceh dan Moammar Khadafi di Libya. Meski dua tokoh ini sama-sama telah meninggal dunia, tapi bagaimanapun mereka masih memiliki "anak ideologis". Dari sanalah maka berbagai kemungkinan di masa depan masih memungkinkan terjadi.

Saya pribadi, seperti halnya sebagian besar masyarakat di Aceh dan Papua yang pernah merasakan seperti apa getirnya pendekatan-pendekatan represif yang dilakukan pemerintah pusat, berharap memori buruk masa lalu tak lagi terulang di era Jokowi yang notabene sebagai pilihan mayoritas rakyat.

Maka itu, jika "blusukan" merupakan metode yang juga menjadi jurus andalan Jokowi mendeteksi masalah di masyarakatnya, maka saya kira blusukannya ketika sudah menjadi seorang presiden juga bisa dilakukan saksama di kedua daerah itu.

Walaupun katakanlah dengan segala kelebihan kekurangannya, SBY sebagai pendahulu Jokowi juga sudah melakukan berbagai langkah yang memungkinkan untuk menjawab masalah itu, namun mau tak mau harus  diakui bahwa solusi yang pernah diambil sama sekali belum komprehensif.

Artinya, gejolak-gejolak tersebut untuk beberapa lama memang teredam dengan berbagai solusi yang telah diambil. Tapi, siapa bisa memastikan gejolak itu takkan timbul kembali? Semoga saja, persoalan ini mendapatkan perhatian serius dari pemerintahan baru Jokowi yang memiliki partner dalam bertukar pikir, Jusuf Kalla yang merupakan wakil presiden RI kedua kalinya.

Faktor Kalla

Memang, berharap Jokowi sepenuhnya untuk menuntaskan persoalan itu, bisa jadi sedikit berlebihan. Iya, jika hanya pada dirinya saja. Tapi keberadaan Jusuf Kalla sedikitnya akan bisa membantu Jokowi untuk menemukan langkah tepat menghadapi itu.

Seperti saya gambarkan dalam tulisan sebelumnya--Eks Petinggi GAM Soal Pemerintahan Jokowi--Nur Djuli yang merupakan negosiator GAM saat perjanjian Helsinki yang saya hubungi mengenai perihal ini, melihat bahwa Kalla memiliki kelebihan di sisi ini. Ia adalah figur yang sangat memahami dari mana harus memulai dan bagaimana harus menjawab, ketika di masing-masing daerah itu--lagi, saat kedua kali menjadi wapres--masih terdapat riak yang bisa mengancam keutuhan Indonesia.

Jika dulu, Kalla sudah memberikan jawaban atas perkara tersebut namun setelahnya ia tak bisa berbuat banyak setelah kalah di Pilpres setelah periode pertama sebagai wapres, maka ini jelas menjadi kesempatan kedua. Agar kelak Indonesia menulis kedua figur pemimpin teranyar ini sebagai dua tokoh yang mampu menjawab secara utuh masalah yang sejatinya berusia setara usia negara ini sendiri: gejolak di daerah! (Twitter: @zoelfick)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun