Mohon tunggu...
Aming Soedrajat
Aming Soedrajat Mohon Tunggu... Freelancer - Aming soedrajat

Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar pada Masyarakat Adat

30 Januari 2018   12:24 Diperbarui: 30 Januari 2018   12:36 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.yukepo.com

Apakah kita perlu belajar kepada masyarakat adat tentang bagaimana caranya mencitai dan menjaga alam ini?

Mungkin pertanyaan itu pernah telintas dalam benak kita, termasuk saya pribadi. Tetapi dalam banyak hal kita harus belajar pada mereka, belajar mencintai alam ini.

Kita juga berhutang banyak kepada mereka. Tanpa mereka kita tidak akan merasakan segarnya udara di pagi hari.

Hutan dinegeri kita memang bukanlah yang terbesar, tetapi secara factual hutan Indonesia merupakan Hutan Tropis Terbesar kedua di dunia setelah Brazil.

Disamping itu hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru dunia, yang berfungsi sebagai filter dalam mengurangi pemanasan global secara signifikan.

Akan ada hal yang mengerikan ketika hutan lebat yang kita miliki telah gundul. Bumi akan menjadi tempat yang panas dan kering kerontang. Bencana terjadi dimana-mana, flora dan fauna akan punah.

Sedikit demi sedikit, nasib hutan kita menuju kearah tersebut karena keserakahan dan ketamakan manusia.

Mereka lebih melihat hutan sebagai ladang bisnis daripada melihat hutan sebagai sumber kehidupan.

Berbanding terbalik dengan masyarakat adat yang terkadang kita memandangnya sebagai masyarakat tertinggal karena mereka tinggal di pedalaman hutan.

Sejauh kenyataan yang terjadi saat ini, masyarakat adat yang tinggal dipedalaman tidak pernah mengekploitasi hutan secara berlebihan.

Tahun lalu dalam sebuah kesempatan saya pernah diajak oleh sahabat ketempat masyarakat adat Ciptagelar di Sukabumi.

Ada yang menarik bagiamana mereka menjaga alam ini. Ketika mereka menebang pohon untuk kebutuhan, maka mereka harus mengganti pohon dengan jenis yang sama di tempat tersebut.

Pohon yang ditebang pun tidak boleh yang masih muda, tapi pohon dengan usia tertentu. Itupun harus dengan izin pimpinan adat setempat. Tidak boleh sembarangan.

Hal itu terus menerus dilakukan, maka tidak aneh apabila hutan mereka lebat dan terjaga, air sungainya mengalir bersih, stock persediaan pangannya melimpah sampai dengan lima puluh tahun kedepan.

Ketika mereka berbicara hutan, maka mereka tidak lagi berbicara untuk dirinya sendiri, tetapi untuk keturunannya ratus tahun yang akan datang.

Sedangkan kita bagaimana yang mengaku masyarakat modern?

Kita hanya melihat hutan hanya untuk kepentingan ekonomi semata. Tanpa melihat kepentingan dari sektor lain. Kita hanya bisa membuat hutan lebat semakin tak terlihat.

Harusnya kita malu kepada mereka, karena mereka bisa menjaga hutan masih tetap lestari. Harusnya kita juga belajar kepada mereka menjaga hutan dan alam ini.

'Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun