Elit Partai Golkar memang sudah kehilangan akal sehatnya untuk berfikir. Kesalahannya dalam menentukan sikap dalam mengusung Calon Gubernur dan wakil Gubernur sepertinya akan menjadi petakan yang sangat besar dalam perjalanan sejarah.
Bagaimana tidak, partai dengan jumlah pemilih yang cukup besar di negeri ini harus tunduk dan fatcun terhadap arus besar yang menyeretnya.
Pengusungan Ridwan Kamil-Daniel Muttaqien untuk menjadi calon Gubernur-wakil Gubernur merupakan ketidak mampuan elit Partai Golkar dalam menentukan sikap.
Ridwan Kamil memang teruji dalam membangun Kota Bandung, tetapi bukan di dunia nyata, melainkan di dunia maya (udara)
Penyelesaian permasalahan Kota bandung jauh dari kata memuaskan. Itu sebabnya sekjen PDIP Perjuangan mengatakan kalau kinerja Walikota Bandung masih dibawah dari walikota Bogor maupun Surabaya.
Artinya, pembangunan kota bandung tidak sesuai dengan kenyataan. Bagus dalam pengemasan di media maupun media sosial tetapi tidak sebanding dengan kenyataannya.
Begitu juga dengan Daniel Muttaqien, karir politik Daniel bisa dibilang masih sangat hijau. Pengalamannya memang cukup lumayan.
Tetapi sangat nihil kontribusi kepada Partai dan masyarakat di sekitar Pantura. Bisa jadi karir politik Daniel terbantu oleh ayahandanya. Yance, yang sekarang tinggal di hotel prodeo karena terkena kasus korupsi.
Selain itu, politik dinasti yang dilakukan oleh keluarga Yance semakin membuat publik anti pati. Serta nilai jual Daniel yang rendah menjadi keniscayaan untuk bisa bersaing dengan tokoh beken lain seperti UU Bupati Tasik, maupun tokoh-tokoh dari PKB yang di sodorkan untuk menjadi calon wakil Gubernur untuk menemani Ridwan Kamil.
Pasangan tersebut jelas mendapat penolakan dari koalisi PKB dan PPP sangat wajar sekali. Karena Daniel memang masih butuh waktu untuk bisa bersaing.
Selain itu, dengan keputusan yang tergopoh-gopoh dari partai golkar tersebut sangat jelas bukan berdasarkan dari mekanisme partai, tetapi ada tekanan dari pihak tertentu untuk pengusungan paket calon Gubernur-Wakil Gubernur tersebut.
Karena kalau melihat mekanisme partai untuk memutuskan calon Gubernur, Dedi Mulyadi melewati semua fase yang di tetapkan oleh juklak Partai Golkar No. 06 tahun 2016.
Keberanian elit Golkar mengusungnya merupakan langkah kemunduran bagi Partai Golkar. Elektabilitas Daniel sangat rendah. Bahkan mungkin tidak dikenal di Jawa Barat (kecuali Pantura)
Kalau Elit Golkar acuannya Elektabilitas, maka tidak rasional ketika harus mengusung Daniel.
Berbeda dengan Dedi Mulyadi, elektabilitasnya terus meroket. Saat ini berada di Posisi kedua berdasarkan survei Indo Barometer menggeser Dedi Mizwar.
Sangat memungkinkan, walaupun golkar merupakan partai dengan Jumlah kursi terbanyak, tetapi dengan posisi tawar paling rendah diantara calon lain dari PKB maupun PPP.
Sehingga dengan hal tersebut, wibawa golkar sebagai Partai Besar bukan lagi semakin besar, Melainkan semakin semberawut.
Apalagi akar rumpu kader Golkar di Jawa Barat menolak dengan tegas keputusan DPP. Penolakan dilakukan secara terang-terangan, melalui udar maupun di darat.
Kalau Elit Golkar Kukuh dengan Putusan tersebut tanpa melihat realita yang terjadi, pilihannya cuman dua.
Pertama harus didaftarkan karena di Jawa Barat Partai Golkar terancam 'Punah', karena matinya mesin partai di tinggalkan akar rumput.
Pilkada hanya menjadi penonton saja baginya, tanpa ada visi untuk membesarkan Partai.
Kedua, Elit Partai Golkar harus sudah mulai menggali Kuburannya di Jawa Barat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H