Mohon tunggu...
Aming Soedrajat
Aming Soedrajat Mohon Tunggu... Freelancer - Aming soedrajat

Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zamrud Khatulistiwa, Keberkahan atau Kutukan

16 September 2017   12:18 Diperbarui: 16 September 2017   12:59 1723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilhamirdian.wordpress.com

Negeri ini dikenal dengan sebutan Jamrud Khatulistiwa karena gugusan Geografis pulau pulau yang berwarna hijau menyejukan mata bagaikan batu Jamrud.

Hijaunya geografis Indonesia kalau di lihat dari luar angkasa karena luasnya hutan yang terbentang dari sabang sampai dengan merauke.

Tidak ada negeri manapun seindah negeri ini, tidak ada seluas hutan negeri ini di belahan bumi manapun.

Hutan yang luas di padukan dengan gunung-gunung yang kokoh membuat manusia manapun tidak pernah berhenti bersyukur dengan anugrah Tuhan yang maha kaya ini.

Tetapi, luasnya hutan negeri ini seperti sebuah kutukan. Hutan yang setiap harinya menyuplai oksigen bersih untuk kebutuhan hidup manusia seperti tidak pernah di syukuri.

Padahal, pepohonan masih bisa hidup tanpa adanya manusia. Tapi manusia tidak akan pernah bisa hidup tanpa pepohonan.

Ada yang salah dalam menyukuri dan memelihara hutan yang luas ini.

Musim kemarau bagikan kutukan, musim hujan pun sama. Bagaimana tidak, musim hujan menjadi bencan karena. banjir, longsor dan sebagainya karena banyaknya alih fungsi lahan karena ketamakan manusia itu sendiri.

Musim kemarau pun sama halnya seperti itu. Saat tibanya musim kemarau seperti sekarang ini kekeringan tidak pernah berhenti menghinggapi negeri jamrud khatulistiwa ini.

Mudah-mudahan kejadian ini hanya terjadi di Jawa Barat, tidak terjadi di wilayah lain di Indonesia.

Bayangkan saja, Jawa Barat di wilayah selatan, timur dan barat merupakan wilayah pegunungan dengan hutannya yang lebat. Tetapi saat musim kemarau seperti sekarang kekeringan melanda.

Aneh sekali, wilyah sejuk dengan gunung dan hutan tetapi terjadi kekurangan air bersih untuk konsumsi dan kebutuhan. Terkadang logika tidak bisa menerima kejadian tersebut.

Kantung-kantung air di hutan yang biasanya menyerap air saat musim hujan dan mengalirkannya saat musim kemarau selalu saja tersendat.

Lantas Apa Permasalahannya?

Permasalahannya karena banyaknya alih fungsi lahan yang seharusnya menjadi kantung-kantung air.

Hutan dan gunung berubah menjadi wilayah perkebunan sayur dan villa-villa megah. Akhirya pada saat hujan turun karena tidak adanya wilayah resapan, air turun dengan deras yang menjadikan banjir bandang.

Sawah-sawah yang luas berubah sudah tidak lagi di tanami padi mau pun palawija. Karena saking suburnya tanah di Jawa Barat, sawahnya di tanami batu beton yang kuat dan kokoh untuk saran perbelanjaan dan rekreasi.

Lantas saat musim hujan karena tidak adanya kantung-kantung air, banjir melanda bagaikan kolam pemancingan.

Sungai yang harusnya menalirkan air sudah tidak lagi berfungsi dengan baik. Sungai sudah tidak lagi menjadi sarana rekreasi maupun sarana ekonomi.

Sungai sudah tidak lagi menajadi habitat ikan-ikan yang berenang bebas, tetapi lebih menjadi habitat sampah dan limbah dengan baunya yang sangat menyengat.

Lembah serta bukit di pegunungan sudah tidak mau lagi ditanami pepohonan, tetapi lebih tertarik di tanami perumahan untuk tidur dan beristirahatnya para tamu.

Bagaimana penyelesaiannya?

Tata ruang yang buruk, keserakahan manusi dan kepentingan ekonomi menjadi penyebab utamanya. Dalih kesejahteraan menjadi kedok utama untuk mengekploitasi alam secara berlebihan.

Yang untung adalah cukung-cukung dan para pengusaha, sementara rakyat mengalami kemunduran secara masif, serta kemiskinan dalam jangka pangjang yang di tempuh secara bertahap.

Mengutif pernyataan Dedi Mulyadi tentang penyelesaian tata ruang di Jawa Barat. Menurutnya, Jawa Barat ada satu kesatuan sistem yang tidak bisa di pisahkan. Selatan dan utara merupakan kesatuan sistem.

Selatan merupakan wilayah pegunungan dengan kualitas air yang baik, maka tidak heran kalau di wilayah selatan terkenal dengan perikanannya.

Utara adalah wilayah pertanian. Maka, tata ruang tersebut harusnya terkoneksi dengan baik. Sungai-sungai terjaga agar irigasi tetap mengalir untuk kebutuhan pertanian.

Memelihari hutan dan gunung memang bukan hanya sebatas dengan kata. Tapi harus dengan kerja nyata. Pemerintah harus kuat dan berwibawa agar hukum tetap tejam. Aturan-aturan yang harus di patuhi, bukan di langgar.

Hukum formal memang masih bisa di utak-atik sesaui dengan kebutuhan jaman. Tapi bagaimana dengan hukum adat?

Saat hukum formal tumpul, tumpuan jelas kepada hukum adat yang masih di pegang teguh oleh masyrakat adat.

Sanksi adat jelas sangat lebih menyeramkan dari pada sanksi formal seketika merusak hutan. Masyarakat adat setia menjaga sungai, hutan dan gunung untuk kelangsungan masyarakat dan generasi.

Hukum adat mengenalkan kita hutan larangan, maupun sungai larangan. Itu bukanlah mistis, melainkan ajaran agar hutan, gunung dan hutan tersebut tetap lestari.

Negara pun jangan egois, harus mengakui mereka. Karena kita berhutang banyak pada mereka. Mereka lah penjaga alam sejati, kalau mereka tidak ada, mungkin kita tidak akan lagi menghirup udara bersih dan segar.

Begitu juga dengan sungai, sanksi formal dan ajakan untuk tidak membuang sampah dan limbah kesungai sepertinya tidak pernah ada realisasi nyata.

Sanksi adat tentang larangan untuk tidak membuang sampah dan limbah ke sungai merupakan sulusi baik. Pemerintah pun harus tegas dalam hal ini. Malu kita sebagai bangsa kalau harga diri dan amanah masyrakat di tukar dengan uang hanya untuk kepentingan perut.

Sebagai masyarakat yang berpancasila, ingat lah kesejahteraan tidak di ukur oleh materi. Alam yang sehat dan terawat sesungguhnya adalah kesejahteraan yang sesungguhnya.

Wariskan mata air dan jadikan anak dan cucu kita sebagai mata air yang bersih jangan sampai kita mewariskan air mata karena ketamakan untuk generasi.

Penutup, saya mengutif pepatah masyarakat indian yang tersisih di negerinya sendiri dan  rusaknya alam di negerinya dengan alasan modernitas dan matrealisme

'Ketika pohon terakhir ditebang. Ketika sungai terakhir dikosongkan. Ketika ikan terakhir ditangkap. Barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun