Aki’ Sulem
“Dok...dok...dok... Ki’, Aki’. Tolong cepetan, Ki’. Obati ibuku, napasnya mulai tersengal-sengal!” Tak henti-hentinya tanganku mengetuk pintu rumah Aki’, dan melontarkan permintaan hingga terdengar suara Aki’.
“Iya, iya, sebentar... Aki’ mau pakai baju dulu. Sekalian mau ngambil Tetoskop dan Tensinya dulu” balas Aki’ spontan dari dalam rumah, yang nampaknya ia baru bangun tidur.
“Di mana rumahmu, nak ? Jauh ya?” tanya Aki’ dalam perjalan.
“Di ujung sana, Ki’. Yang banyak orang berkerumun itu!” Jjawabku singkat, memaklumi kepikunan Aki’, di mana rumahku.
Dengan langkah pendek, sosok yang tinggal tulang dibungkus kulit sawo matang membelah kerumunan orang di depan rumah. Ia bergegas duduk di samping ibu. Aku dan ayah hanya bisa melihat apa yang akan dilakukan Aki’ Sulem untuk menyelamatkan ibu.
“Mana yang sakit, Bu?”
“Di… di sini, Ki’! ” Tulunjuk ibu mengarah ke perutnya.
“Tenang ya, Bu. Biar Aki’ periksa.” pintanya sembari menempelkan ujung teleskop ke perut ibu untuk mentedeksi penyakit yang menyerangnya.
“Eh… Penyakit, mengapa kamu mengendap di perut ibu ini? Ayo cepetan keluar, biarkan ibu ini bisa hidup sehat lagi.” Aki’ itu sepertinya sudah berbincang-bincang dengan penyakitnya. Iya memang nampak sakti, bisa berbincang dengan penyakit. “Hai... Kuberi waktu hanya satu menit, jangan kamu tinggalkan satu goresan sedikitpun di perut ibu ini. Atau aku harus turun tangan sendiri tuk mengeluarkan kamu?” Ancam Aki’.
“Ia bisa keluar, namun ada satu syarat yang harus ibu ini penuhi.” ujar Aki’ pada kita.
“Tanya Ki’, apa syaratnya? Apa aku harus buat tumbal untuknya atau yang lain?” cetus ayah dengan penuh gelisah.
“Hai penyakit apa yang kau minta?” Tanya Aki’ kemudian.
“Ia minta ibu ini agar membaca sayahadat dan beristighfar.”
“Tapi Ki’, istriku bukanlah seorang muslim.” ujar ayah dengan penuh kekhawatiran.
“Aku seorang muslim. Akan kubantu menuntun istrimu.” suara kakek meyakinkan ayah.
“Baca, Bu. “Asyhadu allâ ilâha illal-Lâh waasyhadu anna Muhamdanrasulul-Lâh.” Aki’ menuntun ibu berkali-kali, sampai ibu pun dengan jelas mengucapkanya. “Udah ada respon bu, sepertinya penyakit ini merasa kesakitan. Sekarang baca istigfhar, bu. “Astaghfirul-Lâh al-azhîm…” kakek itu menuntun berkali-kali dengan penuh sabar. “Ulang lagi, bu. Penyakitnya hampir keluar” pinta kakek yang mana Alat tensi tuk mengukur denyut ibu telah dibalutkan di tangannya. “Ayo, bu! Baca sebanyak-banyak, insya Allah kamu akan sembuh.” Keringat panas sudah membasahi sekujur tubuh ibu.
Kesembuhanlah yang didapati oleh ibuku saat itu juga. Namun sekeluarga dan warga berada di tempat diselimuti gelisah yang amat mendalam, saat kepergian Aki’ dari hadapan kami, setelah meyembuhkan ibu tuk kali terakhir. Aki’ hilang begitu saja dari hadapan kami saat sampai di pintu keluar. Hanya teleskop dan tensinya ia pasrahkan pada Bapak Solihin sebagai kepala desa setempat dan sempat melontarkan titah sebelum kepergiannya.
“Genggamlah agama Islam selalu, maka dipastikan desa ini takkan di hantui oleh penyakit Leukimia itu lagi.”[]
17.05.2013. 09.47. Jumat
Subhan Munif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H