“Tanya Ki’, apa syaratnya? Apa aku harus buat tumbal untuknya atau yang lain?” cetus ayah dengan penuh gelisah.
“Hai penyakit apa yang kau minta?” Tanya Aki’ kemudian.
“Ia minta ibu ini agar membaca sayahadat dan beristighfar.”
“Tapi Ki’, istriku bukanlah seorang muslim.” ujar ayah dengan penuh kekhawatiran.
“Aku seorang muslim. Akan kubantu menuntun istrimu.” suara kakek meyakinkan ayah.
“Baca, Bu. “Asyhadu allâ ilâha illal-Lâh waasyhadu anna Muhamdanrasulul-Lâh.” Aki’ menuntun ibu berkali-kali, sampai ibu pun dengan jelas mengucapkanya. “Udah ada respon bu, sepertinya penyakit ini merasa kesakitan. Sekarang baca istigfhar, bu. “Astaghfirul-Lâh al-azhîm…” kakek itu menuntun berkali-kali dengan penuh sabar. “Ulang lagi, bu. Penyakitnya hampir keluar” pinta kakek yang mana Alat tensi tuk mengukur denyut ibu telah dibalutkan di tangannya. “Ayo, bu! Baca sebanyak-banyak, insya Allah kamu akan sembuh.” Keringat panas sudah membasahi sekujur tubuh ibu.
Kesembuhanlah yang didapati oleh ibuku saat itu juga. Namun sekeluarga dan warga berada di tempat diselimuti gelisah yang amat mendalam, saat kepergian Aki’ dari hadapan kami, setelah meyembuhkan ibu tuk kali terakhir. Aki’ hilang begitu saja dari hadapan kami saat sampai di pintu keluar. Hanya teleskop dan tensinya ia pasrahkan pada Bapak Solihin sebagai kepala desa setempat dan sempat melontarkan titah sebelum kepergiannya.
“Genggamlah agama Islam selalu, maka dipastikan desa ini takkan di hantui oleh penyakit Leukimia itu lagi.”[]
17.05.2013. 09.47. Jumat
Subhan Munif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H