Sodik Supriyanto
sodiksupriyanto93@gmail.com
Ketika membahas poskolonialisme, istilah "poskolonial" atau "pascakolonialisme" dapat digunakan untuk merujuk pada era pascakolonial kemerdekaan dari bekas kekuatan kolonial di awal abad ke-20. Lebih penting memahami poskolonialisme sebagai sebuah pendekatan, eksplorasi makna atau studi wacana yang berkembang dalam masyarakat (pra)kolonial yang menolak pengalaman dan ekspresi diri kolonial.Â
Postkolonialisme berarti wacana perlawanan dari kaum terjajah, yang secara kritis mempertanyakan kembali wacana-wacana kolonial dan wacana-wacana yang telah menjadi grand naratif. Wacana yang mempertanyakan narasi besar juga bertujuan untuk menemukan kembali masa lalu yang terkubur oleh pengaruh dan informasi (salah) kolonial. -pengalaman yang penuh ambiguitas dan inferiorita (Eddy, 2011:313)
Dalam wacana sejarah dan interpretasi kitab suci, berbagai proposal untuk rekonstruksi menambah warna model Barat dalam mempelajari Timur. Dalam pandangan Edward Said (Orientalisme: 309-317), akan lebih tepat bila rekonstruksi Timur oleh Barat dimaknai sebagai perlakuan terhadap daerah-daerah yang dianggap terputus dari kemajuan Barat. Sedemikian rupa sehingga di masa depan, Timur tanpa sadar akan ditekan oleh akademisi Barat, kesadaran Barat, dan kemudian kerajaan Barat. Sederhananya, menurut Said, "Timur diciptakan untuk Barat".
Dalam sains, bagi Said, penemuan "objektif" para sarjana Barat - belum lagi Orientalisme - adalah kebenaran yang ilusif. Seperti yang dikatakan Nietzsche - dikutip oleh Said - "Kebenaran adalah ilusi, dan orang-orang lupa bahwa itu adalah ilusi". Lebih khusus lagi, Said (Orientalisme: 312) mengatakan:
"Pandangan Nietzche ini mungkin tampak terlalu nihilistik, tetapi setidak-tidaknya pandangan ini akan menarik perhatian kita untuk melihat kenyataan bahwa selama masih berada dalam kesadaran Barat, Timur hanyalah satu kata yang kemudian diberi makna, asosiasi, dan konotasi."
Sudut pandang Said boleh dibilang mengisyaratkan bahwa seluruh silsilah studi Barat tentang Timur mengandung muatan ideologis dan pragmatis untuk memperkuat posisi Barat.Â
Dalam konteks Al-Qur'an, Hamid Fahmy Zarkasyi juga berpendapat bahwa studi Barat tentang Timur, terutama ketika mempelajari Al-Qur'an, cenderung menggunakan kerangka yang sama ketika mempelajari Alkitab. Membiarkan konten ideologis dalam metodologi interpretatif mengarah pada perbedaan hasil penelitian, yang mengarah pada kesalahpahaman (Zarkasyi, 2011: 1-2).
Meskipun pandangan Zarkasyi dan pandangan Muhammad Imarah sebenarnya dapat dikritik secara metodologis karena tidak menunjukkan mazhab mana yang dikritik, dalam kajian hermeneutika setidaknya ada tiga mazhab, yaitu subjektivisme, objektivisme dan Subjektivisme dan Objektivisme. (Sahiron, 2017: 4-5).
Pandangan Said tentang "kebenaran ilusif" menarik untuk dibandingkan dengan beberapa pandangan para sarjana Barat lainnya. Misalnya, Maxim Rodinson berpendapat bahwapara sarjana memang tidak bisa sepenuhnya netral namun itu bukanlah alasan untuk menolak upaya-upaya untuk sampai kepada objektivitas kajian Barat atas Timur (Fauzi, 1992: 4-5).
Farid Essack juga mengutarakan pendapat yang serupa dengan apa yang disampaikan oleh Rodinson dan menegaskan bahwa tidak ada peneliti yang benar-benar murni (Essack, 2007: 9). Baik Rodinson maupun Essack meyakini bahwa meskipun peneliti tidak bisa dipisahkan karena bias subjektivitas, tetapi ini tidak bisa menjadi alasan untuk menolak setiap kebenaran ilmiah yang disajikan dengan membangun kerangka metodologis.