Mohon tunggu...
Agus Priyanto
Agus Priyanto Mohon Tunggu... Freelancer - sodarasetara

----

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Jusuf Kalla Seperti Tak Pernah Bicara Trisakti dan Nawacita?

12 April 2016   14:45 Diperbarui: 12 April 2016   16:07 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="bemkm.ugm.ac.id/2015/10/07/portofolio-gerakan-kawal-nawacita/"][/caption]Membaca berita di katadata.co.id ini kita menjadi teringat dengan pernyataan dan sikap tegas dari Jokowi setelah terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia (15/9/2014). Pada saat itu, Presiden terpilih Joko Widodo menegaskan, menteri yang akan mengisi kabinetnya tak boleh merangkap jabatan di partai politik. Setelah terpilih menjadi menteri, yang bersangkutan harus melepaskan jabatannya di partai. 

Publik yang menghantarkan sosok Jokowi yang memiliki karakter demokratis karena mampu memperpendek jarak antara rakyat dengan pemimpin di negeri ini, tentu ingat bahwa maksud dari Presiden Jokowi agar kabinetnya lepas jabatan dari Partai Politik adalah agar menteri tersebut dapat fokus bekerja. Fokus bekerja disini tentunya adalah mewujudkan kehadiran negara di tengah-tengah kehidupan rakyat.

Muncul pertanyaan. Kalau Wapres Jusuf Kalla kembali mencoba-coba menarik Ketua Umum Hanura masuk dalam Kabinet Pemerintahan Jokowi, bukankah menjadi benar pertanyaan publik bahwa konflik atau perpecahan yang terjadi di Golkar, PPP adalah karena cawe-cawe-nya Jusuf Kalla?

Pertanyaan selanjutnya, siapa orang yang diinginkan oleh Jusuf Kalla untuk menggantikan posisi Wiranto di Ketua Umum Hanura jika analisa diatas benar akan terjadinya?

Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang juga muncul ketika wacana yang berkembang dari analisa atau berita yang ada di katadata.co.id adalah kemunculan sosok Jusman Syafii Djamal, mantan Menteri Perhubungan di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Publik tentu perlu mengingat kembali pemberitaan yang mengatakan bahwa Jusuf Kalla ketika menjabat Wapres di era Susilo Bambang Yudhoyono disebut-sebut sebagai Matahari Kedua. Dari sini kita menjadi mafhum dengan istilah Matahari Kembar di Republik ini.

Jauh beda dengan sikap kenegarawanan Bung Hatta ketika memiliki perbedaan pandangan dan sikap politiknya dengan Soekarno. Sikap negarawan Bung Hatta ini, menurut seorang wartawan senior Arief Gunawan adalah sebaik-baiknya tingkah laku wakil presiden di Republik Indonesia ini.

“Hatta bertentangan secara politik dengan Sukarno. Hatta reformis, Sukarno revolusioner. Sukarno gandrung persatuan, Hatta memandang persatuan hanya alat. Sukarno menghendaki negara kesatuan, Hatta ingin negara serikat. Sukarno anti demokrasi parlementer, Hatta pendukung demokrasi parlementer. Bung Karno menganggap pemungutan suara (voting) merupakan tirani mayoritas, Bung Hatta menganggap voting sebagai jalan mencapai mufakat. Tapi Hatta mundur dari jabatannya secara baik-baik satu tahun setelah Pemilu '55, yaitu Desember '56, sewaktu perbedaan pandangan dan sikap politik keduanya memuncak menyusul Demokrasi Terpimpin diberlakukan Sukarno”, Arief Gunawan

“Dibawah Kehendak Rakyat dan Konstitusi”

[caption caption="www.slideshare.net/arbib/nawa-cita"]

[/caption]Begitulah judul Pidato perdana Presiden Jokowi saat pelantikan di hadapan Sidang Paripurna MPR, 20 Oktober 2014. Pidato ini mengingatkan kita kembali kepada Visi Misi dan Program Aksi Pemerintahan Jokowi – JK yang sanggup menggerakkan partisipasi publik secara sukarela dalam membangun perubahan di negeri ini sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Namun demikian, dalam perjalanan pemerintahannya, Presiden Jokowi menghadapi persoalan ketika telah menetapkan tahun 2016 sebagai Tahun Percepatan.

Percepatan untuk apa? Percepatan untuk membuka jalan guna mewujudkan visi & program aksi "Trisakti & Nawacita" sebagai jalan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut.

Mengapa Presiden Jokowi menetapkan Tahun 2016 sebagai Tahun Percepatan di jajaran Kabinet Kerja dan Pemerintahan di seluruh Indonesia? Ini tidak lain karena Presiden Jokowi sadar bahwa setelah 1 tahun pemerintahannya, diperlukan pembuktian terhadap janji-janji politiknya kepada mayoritas rakyat pemiliki kedaulatan di negeri ini yang mengantarkannya sebagai nahkodi di negeri yang sedang mengembalikan kejayaan maritimnya ini.

Saat ini, publik telah memperoleh berbagai informasi dan juga fakta di lapangan bahwa beberapa menteri di Kabinet Kerja masih mewarisi tradisi pemerintahan sebelumnya yang membiarkan praktek KKN diantara jajarannya. Publik tentu ingat dengan praktek-praktek ini mulai dari kasus korupsi di Pelindo 2 yang diintervensi langsung oleh Jusuf Kalla, Menteri BUMN bahkan ada nama Menteri Bappenas Sofyan Djalil. Publik tentu juga ingat dengan munculnya evaluasi Menpan RB terhadap sesama menteri di Kabinet Kerja dan beredarnya katabelece di media massa.

[caption caption="www.slideshare.net/arbib/nawa-cita"]

[/caption]Ya, ditengah riuh rendah pemberitaan tentang perjalanan Pemerintahan Jokowi ini tidak dipungkiri berkembang wacana untuk Reshuffle Kabinet. Apa kepentingan dari Reshuffle Kabinet ini?

Menjawab pertanyaan tersebut, publik harus mengingatkan kembali bahwa Reshuffle Kabinet bukan dalam kepentingan dagang kekuasaan yang akan menghambat jalan mewujudkan pemerintahan yang bersih sehingga sanggup mengembalikan kewibawaan negara dan pemerintahan di tengah-tengah rakyat.

Publik perlu menjaga sang Nahkoda negeri maritim yang terus-menerus mengajak dialog dengan mayoritas rakyat kecil lewat kunjungan kerja-kunjungan kerja di berbagai daerah serta memantau distuasi melalui akun sosial media atau media massa ini.

Sang nahkoda, Jokowi, curhat kepada kita, mayoritas rakyat pemegang kedaulatan negeri ini, saat kunjungan kerja di Brebes, Jawa Tengah, 11 April 2016.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bahwa hingga saat ini belum ada kesepakatan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengenai reshuffle kabinet.

"Sampai saat ini kami bicara terus (soal reshuffle). Hanya sampai saat ini belum (sepakat)," kata Jokowi, Senin (11/4/2016).

Oleh karena itu, publik perlu kembali membuka Konstitusi secara bersama-sama. Di dalam UUD 1945, pasal 4 ayat 2, dinyatakan bahwa "dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden".

Tetapi fakta yang terjadi, tidak sedikit publik yang menilai kewenangan yang dimainkan oleh Wakil Presiden terlalu jauh dari yang ada dalam Konstitusi kita.

Jika rencana Jusuf Kalla seperti yang di-skenario-kan diatas berjalan, maka the real presiden akan kembali JK. Praktek pejabat yang KKN dan pengerukan sumber daya serta pembangunan infrastruktur yang dikerjakan oleh pemerintahan Jokowi hanya akan dinikmati oleh segelintir orang di negeri yang kaya raya ini.

Jika begini faktanya, sebagai pemilik kedaulatan di negeri ini, kita perlu kawal visi & program aksi Trisakti & Nawacita yang dikerjakan oleh Presiden Jokowi.

Salam Kompasiana, Salam Revolusi Mental

Salam Perubahan...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun