(Jakarta 1 Desember 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi)
Penggalan puisi Sajak Pertemuan Mahasiswa dari WS. Rendra diatas saya kira layak untuk menjadi aras berpikir dan bersikap kita dalam menentukan keberpihakan politik kita apabila kita setuju dengan definisi politik adalah perjuangan untuk membela mereka yang termarjinalkan. Penggalan puisi diatas juga memiliki konteks historis dengan perjuangan Rizal Ramli saat bersama dengan Gerakan Mahasiswa 1977/1978 menyerukan Gerakan Anti Kebodohan serta menyatakan Mosi Tidak Percaya dan Menolak Soeharto kembali sebagai Presiden RI.
Ya, keberadaan Rizal Ramli didalam Kabinet Jokowi sejak Agustus 2015 kemarin memang telah menimbulkan dinamika baru dalam proses politik penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut mayoritas rakyat atau hajat hidup orang banyak. Jika sebagian dari kita selama ini merasakan adanya jarak yang terbentang antara hiruk pikuk kondisi politik yang jauh dari kehidupan sehari-hari rakyat kebanyakan, sejak terpilihnya Jokowi sebagai Presiden ke 7 telah mengalami perubahan. Presiden Jokowi, yang dikenal dengan gaya kerakyatannya yang mampu memutus jarak antara pemimpin atau pejabat publik dengan rakyatnya melalui gaya blusukannya, memang memiliki gaya tersendiri dibanding 10 tahun kepemimpinan SBY yang terlihat penuh pencitraan.
Ya, meski dengan cara tak sama, namun ada kemiripan dari sosok Jokowi yang kerakyatan dengan sosok Rizal Ramli yang tak ingin adanya politik bermuka dua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Rizal Ramli sebagai pendatang baru di Kabinet Jokowi dikenal sebagai si “Rajawali Ngepret” memang memiliki rekam jejak tak kenal kompromi dengan praktek KKN, Feodalisme dan Primordialisme. Bagi Rizal Ramli yang kini mulai memperkenalkan jurus baru yang ia sebut dengan “Rajawali Bangkit” ini, perubahan menuju Indonesia yang lebih baik seperti yang tercantum dalam Visi Misi dan Program Aksi Jokowi-JK “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian” memang membutuhkan gaduh putih untuk mengusir tikus-tikus di sawah agar tidak gagal panen.
Gaduh putih yang terjadi dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang mennyangkut hajat hidup orang banyak memang telah banyak diketahui oleh sebagian besar publik Indonesia. Dan tak sedikit dari mereka kemudian merasa gerah atau istilah dari Menko yang memiliki pengalaman sebagai penasehat ahli dalam panel ekonomi PBB ini, disebut oleh anak-anak gaul masa kini dengan “Baper” (bawa perasaan). Tapi yang perlu untuk diketahui oleh publik juga, bahwa gaduh putih yang terjadi saat ini ternyata telah menghasilkan beberapa capaian yang oleh Rizal Ramli disebut sebagai “Rajawali Bangkit”
RAJAWALI BANGKIT DI PEMBANGKIT LISTRIK 35.000 MW
Sejak dilantik masuk dalam jajaran Kabinet Jokowi, Rizal Ramli langsung menyelenggarakan rapat koordinasi untuk mencari solusi percepatan pembangunan proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) yang digagas oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Rapat yang diselenggarakan sehari setelah dirinya dilantik tersebut, sebagaimana dilansir oleh detik.com telah menghasilkan rekomendasi tentang peninjauan ulang penetapan harga jual beli listrik atau Power Purchase Agreement (PPA). Hal ini dilakukan karena selama ini, kesepakatan PPA berjalan lamban sehingga memicu keterlambatan proyek pembangkit listrik baru. Jika selama ini nego PPA membutuhkan waktu 2-3 tahun padahal, Rizal Ramli akan uber nego PPA menjadi 3 bulan.
Rekomendasi lain yang dihasilkan dari langkah cepat Rizal Ramli adalah tentang permasalahan lahan dalam pembangunan pembangkit listrik. Rizal Ramli beserta jajarannya akan merumuskan kembali besaran alokasi anggaran untuk pengadaan lahan. Lahan baginya berperan penting dalam percepatan pembangunan pembangkit listrik baru. Menurut Rizal Ramli “Soal tanah, selalu ribet. Pak Jokowi bilang, jangan pakai istilah ganti rugi tapi ganti untung. Proyek besar bikin harga naik. Di India ribetnya kayak Indonesia. Pemerintah India beri insentif selain biaya lahan. Warga dikasih saham kecil-kecilan selama 20-30 tahun. Kita nanti ganti untung dari 17%, terus ditambahan dikit jadi 20% untuk biaya lahan dari total nilai proyek”.
Diakui oleh Presiden Jokowi, proyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW ini memang menimbulkan kekawatiran tersendiri. Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Presiden Jokowi dan jajaran Kabinet bersama sekitar 150an investor listrik di Istana Negara pada 22 Desember 2015 yang lalu, Presiden Jokowi mengungkapkan kekawatiranya yang selama ini terus melakukan pemantuan langsung secara ketat terhadap progres dari proyek tersebut kepada Dirut PLN.
“Saya panggil dirutnya, 600 MW ini angka apa? 35.000 MW hanya disodori 600 MW, kapan. Ternyata memang stepnya belum sampai, bapak lihat saja nanti akhir tahun, akhir Desember. Ya saya sabar, tapi saya ikuti, ada progres enggak, ada kemajuan enggak, angkanya meskipun saya tahu kemarin juga baru ditandatangani yang 8.000 MW bener kan, enggak apa-apa yang penting sudah 17.300 MW,” ungkap Jokowi di bisnis.com, 22 Desember 2015.
Apa yang telah direkomendasikan dari tancap gas Rizal Ramli di percepatan pembangkit listrik ini sebetulnya telah ditindaklanjuti oleh PLN yang mampu mengejar penandatanganan proyek listrik secara bersamaan sebesar 8.000 MW diakhir tahun 2015. Dengan penandatangan tersebut, PLN di akhir 2015 telah berhasil menandatangi kontrak perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) dan kontrak pembangunan pembangkit listrik sebesar 17.340 Mega Watt (MW).