Mohon tunggu...
Sobih Adnan
Sobih Adnan Mohon Tunggu... -

Hidup di Cirebon, namun belajar tanpa batas | Penulis Buku Kumpulan Puisi : Nyanyian Gagang Telepon.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebuah Awal tentang "Jingga Senja"

6 September 2011   23:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:11 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak selesai, ada sepenggal petir menggeliat di telinga kami, “Ayah mana?” tanya bunda setelah sejuk rumah hampir melupakan kami semua. Tak ada suara, Tuhan menciptakan kami bisu tak mengenal jawab kata.

Untuk berikutnya, entah pada putaran jarum jam ke berapa, yang jelas jelang senja. Kudengar  lirih paman-paman yang bijak menceritakan tentang Nabi Ayub dan segala pengorbanan-pengorbanan dalam kisah. Tentu kepada Bunda, sebelum kemudian membisik “Ayah, tiada”.

Kau pernah melihat bagaimana rerumput melahirkan embun-embun? Atau basah kaca saat musim dingin tiba?. Itu air mata ibu saat itu, tak banyak, hanya sedikit saja.

Karena, “Ayah pernah datang memeluk-ciumku, membeli segala keterpisahan kita, dengan segenap cinta”. Tuturnya.

Ah...ternyata cinta bisa sedahsyat itu, dan kami percaya, Tuhanpun sangat menghargai cinta, bisa saling tawar untuk berkorban, sekalipun dalam hal batas usia dan jatuh tempo kematian.

Hingga selanjutnya, di suasana kamar rumah sakit yang hampir sama, Bunda tersenyum dan berkata. “Bunda pamit, Tuhan dan Ayah telah menyapa, mereka rindu katanya”.  Tepat dalam jeda tiga tahun setelah kepergian Ayah, Bundapun tiada, tentu saja kami kembali duka, namun Bunda meledek kami dengan senyum penuh cinta.

__________________________________________________________________________________

Yang menarik adalah semuanya terjadi di pelataran jingga senja. Di sana selalu ada haru, kadang duka, suka, atau apapun yang selalu penuh cinta.

Karena memang seperti itulah rasa,

Jadi,

Mengapa kita mesti menangis, Kala Senja, Saat bumi, Tertusuk separuh matahari?.

| Kisah ini terjadi di tahun 2002 dan penghujung 2005, berhasil membuat kami dewasa tentang cinta dan senja, serta akan selalu terkenang hingga habis masa |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun