Tak selesai, ada sepenggal petir menggeliat di telinga kami, “Ayah mana?” tanya bunda setelah sejuk rumah hampir melupakan kami semua. Tak ada suara, Tuhan menciptakan kami bisu tak mengenal jawab kata.
Untuk berikutnya, entah pada putaran jarum jam ke berapa, yang jelas jelang senja. Kudengar lirih paman-paman yang bijak menceritakan tentang Nabi Ayub dan segala pengorbanan-pengorbanan dalam kisah. Tentu kepada Bunda, sebelum kemudian membisik “Ayah, tiada”.
Kau pernah melihat bagaimana rerumput melahirkan embun-embun? Atau basah kaca saat musim dingin tiba?. Itu air mata ibu saat itu, tak banyak, hanya sedikit saja.
Karena, “Ayah pernah datang memeluk-ciumku, membeli segala keterpisahan kita, dengan segenap cinta”. Tuturnya.
Ah...ternyata cinta bisa sedahsyat itu, dan kami percaya, Tuhanpun sangat menghargai cinta, bisa saling tawar untuk berkorban, sekalipun dalam hal batas usia dan jatuh tempo kematian.
Hingga selanjutnya, di suasana kamar rumah sakit yang hampir sama, Bunda tersenyum dan berkata. “Bunda pamit, Tuhan dan Ayah telah menyapa, mereka rindu katanya”. Tepat dalam jeda tiga tahun setelah kepergian Ayah, Bundapun tiada, tentu saja kami kembali duka, namun Bunda meledek kami dengan senyum penuh cinta.
__________________________________________________________________________________
Yang menarik adalah semuanya terjadi di pelataran jingga senja. Di sana selalu ada haru, kadang duka, suka, atau apapun yang selalu penuh cinta.
Karena memang seperti itulah rasa,
Jadi,
Mengapa kita mesti menangis, Kala Senja, Saat bumi, Tertusuk separuh matahari?.
| Kisah ini terjadi di tahun 2002 dan penghujung 2005, berhasil membuat kami dewasa tentang cinta dan senja, serta akan selalu terkenang hingga habis masa |